Memahami Filosofi “IKET” dalam Budaya Sunda


Pernah menyaksikan pagelaran wayang golek dalam budaya sunda? Didalamnya selalu dihiasi dengan kejenakaan 3 tokoh punakawan. Sebutlah cepot, dawala dan gareng. Cepot merupakan tokoh yang paling terkenal diantara ketiganya. Dan merupakan ciri khas dari Cepot adalah kulit berwarna merah, gigi tonggos dan tak lupa selalu menggunakan tutup kepala yang disebut sebagai iket.
Iket dalam budaya sunda memiliki filosofi tersendiri, disebut Makutawangsa :

"sing saha bae anu make iket ieu, maka dirina kudu ngalakonkeun PANCADHARMA…." artinya : "barang siapa yang menggunakan iket ini, harus menjalankan PANCADHARMA..." Hukum PANCADHARMA :
  1. Apal jeung hormat ka PURWADAKSI DIRI (Menyadari dan menghormat kepada asal usul diri).
  2. Tunduk kana HUKUM jeung ATURAN (Tunduk akan hukum dan tata tertib/aturan).
  3. Berilmu (DILARANG BODOH..!)
  4. Mengagungkan SANG HYANG TUNGGAL (Sang pencipta, Tuhan).
  5. Berbakti kepada BANGSA dan NEGARA.


Digambarkan tahapan iket Makutawangsa. Pada tahap pertama disebut OPAT KA LIMA PANCER, dapat juga diartikan diri menyatu dengan unsur-unsur utama alam: Angin, Cai (Air), Taneuh (Tanah) dan Seuneu (Api). Kemudian segiempat tadi dilipat menjadi bentuk segitiga yang merupakan refleksi Diri, Bumi dan Negeri. Refleksi ini dikenal dengan sebutan TRITANGTU dalam falsafah sunda. Kemudian lakukan lipatan sebanyak lima kali, disebut sebagai PANCANITI.
  1. Niti Harti (Tahap mengerti)
  2. Niti Surti (Taham memahami).
  3. Niti Bukti (Tahap membuktikan).
  4. Niti Bakti (Tahap membaktikan).
  5. Niti Jati (Tahap kesejatian, manunggal dengan sang pencipta)
Gambar berikutnya disebut SANG HYANG TUNGGAL merupakan refleksi dari sang pencipta. Dan gambar terakhir adalah gambar iket yang sudah jadi menempel di kepala. Lungguh pada gambar terakhir adalah refleksi patuh pada sang pencipta.

Filosofi diatas adalah pemahaman pribadi mengenai filosofi iket sunda.

Budaya mengalami perkembangan. Termasuk dalam jenis-jenis iket sendiri. Adalah Mochamad Asep Hadian Adipraja, saya sebut sebagai seorang pemerhati iket sunda. Saya mengenal Kang Asep dari seorang teman yang gemar dengan kebudayaan sunda. Dan sampai saat ini Kang Asep masih mengumpulkan rupa-rupa iket yang ada di Nusantara. Kang Asep dalam blognya pulasaraiket menganalisa bahwa iket dapat digolongkan menjadi dua model utama :
  1. Rupa Iket Buhun; adalah rupa iket yang sudah terdapat di kampung-kampung adat, dan sudah menjadi pola kebiasaan sehari-hari dalam penggunaannya tanpa tercampur oleh budaya atau elemen dari luar.
  2. Rupa Iket Reka-an; adalah rupa iket hasil karya dari pribadi dengan kreasi yang disukainya, namun pada prinsipnya adalah tetap menggunakan kain segiempat.
Berikut adalah rupa iket yang berhasil dikumpulkan : RUPA IKET BUHUN Parekos Jéngkol; Parekos Nangka; Barangbang Semplak; Julang Ngapak; Koncér; Kuda Ngencar; Lohen; Kebo Modol; Kolé Nyangsang; Buaya Ngangsar; Porténg; Parekos Gedang ( Kampung Ciptagelar ); Ki Parana ( Kampung Ciptagelar ); Udeng ( Kampung Ciptagelar ); Pa’tua ( Kampung Ciptagelar ); Babarengkos ( Kampung Ciptagelar ); Iket Adat Kampung Ciptagelar 1 ( Kampung Ciptagelar ); Iket Adat Kampung Naga 1; Iket Adat Kampung Naga 2; Iket Adat Kampung Dukuh; Iket Adat Kampung Cikondang 1; Iket Adat Rancakalong; RUPA IKET RÈKA-AN Parékos Candra Sumirat; Parékos Maung Leumpang; Parékos Batu Amparan; Parékos Dua Adegan; Parékos KiPahare; Kujang Dua Papasangan; Parékos Jeulit Danas.

__________________________________________ 
Dalam perkembangannya, banyak rupa iket baru bermunculan yang belum terdata. Penasaran dengan rupa-rupa iket yang saya sebutkan diatas? Klik logo untuk lebih jelasnya


Semoga catatan ini merangsang penghargaan dan penghayatan terhadap budaya. (khususnya pribadi)
Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment