Menikah di Bulan Syawal (?)

syawal.jpg


“Blonk datang ya ke nikahan gue nanti tanggal 2 Agustus”

Begitu kurang lebih isi chat bersama seorang sahabat via WhatsApp. Iya, sahabat yang selama ini sering saling meledek, mencaci dan memaki dengan mesra akan melepas masa lajangnya. Sebentar lagi. Kurang dari 2 minggu lagi.

Tiba-tiba saya ingat waktu keluarga datang berkenalan dengan keluarga istri saya yang sekarang. Waktu itu kami belum menjadi sepasang suami istri tentunya. Waktu itu, masing-masing keluarga masih menilik-nilik si calon mantu. Mungkin kedua orang tua kami sedang menimbang-nimbang layak atau tidak kami dipersatukan. Atau mungkin saling menilik calon anaknya masing-masing. Cocok atau tidak.

Pada pertemuan itu, ibu saya melempar percakapan kalau di kampungnya tidak baik menikah pada bulan syawal. Kata orang-orang di kampung, dibilang “bulan nikahnya anjing” katanya. Sontak saja ucapan tadi disambut heran semuanya. Apa benar ada yang seperti itu?

Mungkin justru sebaliknya, justru selepas lebaran, banyak berdiri janur kuning. Hal yang paling saya ingat ketika pulang kampung beberapa tahun lalu. Ketika pulang ke Jakarta, dihitung-hitung berdiri dengan gagah setidaknya 6 janur kuning tanda pernikahan sedang berlangsung. Bulan syawal belum habis dan banyak yang menikah. “Mumpung lagi kumpul” kalau kata om saya menimpali.

Ya bisa jadi. Mumpung semua anggota keluarga sedang berkumpul dan sedang berbahagia memaknai hari raya. Maka kebahagiaan itu ditambah lagi dengan menikahkan anggota keluarga. Jadi, semua anggota keluarga bisa dengan leluasa menjadi saksi, memberi restu dan memberi do’a tentunya. Semua senang, semua happy.

Ada yang aneh ya. Sebagian pihak meyakini sebuah kesialan, sementara banyak juga yang yakin aji mumpung dan mendatangkan berkah. Kebingungan tadi mungkin terjawab atas apa yang saya terima tadi dari grup WhatsApp. Isinya tentang menikah di bulan syawal.

Dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan,

ﺗَﺰَﻭَّﺟَﻨِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻲ ﺷَﻮَّﺍﻝٍ، ﻭَﺑَﻨَﻰ ﺑِﻲ ﻓِﻲ ﺷَﻮَّﺍﻝٍ، ﻓَﺄَﻱُّ
ﻧِﺴَﺎﺀِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺣْﻈَﻰ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻣِﻨِّﻲ؟، ﻗَﺎﻝَ : )) ﻭَﻛَﺎﻧَﺖْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔُ
ﺗَﺴْﺘَﺤِﺐُّ ﺃَﻥْ ﺗُﺪْﺧِﻞَ ﻧِﺴَﺎﺀَﻫَﺎ ﻓِﻲ ﺷَﻮَّﺍﻝٍ ))

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah Radiyallahu ‘anhaa dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal” (HR. Muslim).

Mungkin atas dasar landasan hadist di atas lah menjadi acuan sebagian orang untuk melaksanakan pernikahan pada bulan syawal. Mencontoh Rasul maksudnya.

Tapi bulan syawal dianggap bulan sial juga mungkin berasal dari jaman arab jahiliyah. Pada masa itu diyakini bahwa bula syawal adalah bulan dimana unta betina mengangkat ekornya. Ini adalah istilah dimana unta betina enggan untuk menikah. Pada zaman dahulu sangat wajar jika hendak melakukan sesuatu, pasti melihat tanda-tanda alam. Prilaku hewan juga merupakan tanda alam. Maka dengan melihat prilaku unta betina ini, disimpulkanlah hal-hal negatif. Dan bisa jadi contoh-contoh pernikahan pada bulan syawal diketahui berakhir buruk. Sehingga stigma negatif tercipta.

Prasangka negatif tadi tentu saja ditepis oleh Rasulullah dengan menikah. Dalam sebuah hadist, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (bulan Syawwal termasuk di antara ‘ied fitri dan ‘idul Adha), mereka khawatir akan terjadi perceraian. Keyakinan ini tidaklah benar.” ( Al-Bidayah wan Nihayah , 3/253).

Sungguh dengan mengetahui hadist-hadist di atas bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak ada waktu-waktu yang buruk untuk pernikahan. Juga tidak ada waktu-waktu yang paling baik untuk melangsungkan pernikahan. Bukankah dalam rukun nikah tidak ditentukan waktu terbaik atau waktu yang dilarang? Tapi yang bahaya, kalau stigma negatif sudah tercipta, lantas itu diyakini oleh orang-orang yang datang, dan kalau hal tersebut terucap, bukankah itu menjadi do’a dari yang hadir? Udah ah, jangan mikir yang jelek-jelek.
_______________________ , catatan-syawal
Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment