Dari Nasionalis Sejati Menjadi "Pemberontak": Kisah Tengku Hasan Di Tiro dan Perjalanan Aceh



Kisah Tengku Hasan Muhammad di Tiro adalah narasi yang kompleks dan penuh gejolak, melukiskan potret seorang nasionalis sejati yang akhirnya memilih jalan "pemberontakan" demi apa yang diyakininya sebagai kemerdekaan Aceh. Perjalanannya bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang identitas, pengkhianatan, dan perjuangan yang tak kenal lelah.


Dari Yogyakarta hingga Arena PBB: Nasionalisme yang Terluka

Di masa mudanya, Hasan Tiro adalah seorang nasionalis tulen. Tercatat pada 1944, di tengah hiruk-pikuk pendudukan Jepang, ia sudah menunjukkan gelora perlawanan. Pendidikan di Normal Islam Institute Bireuen dan kemudian di Yogyakarta di bawah bimbingan Safrudin Prawiranegara, seorang Menteri Keuangan, membentuk pemikirannya. Ia bahkan menjadi Ketua Badan Pemuda Indonesia yang bertekad mempertahankan Republik dari agresi Belanda, serta menggerakkan Pelajar Islam Indonesia di Aceh dengan semangat nasionalisme membara.

Namun, cinta Hasan Tiro terhadap Indonesia mulai retak pada 1950. Keputusan Soekarno menghapus Aceh dari peta provinsi dan membekukan jabatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer menjadi titik balik. Puncaknya adalah kabar pembunuhan massal oleh tentara terhadap rakyat Aceh di Pulau Cot Jempa pada 26 Februari 1954, yang menewaskan 99 orang. Kemarahan yang membuncah mendorongnya mengirimkan ultimatum kepada pemerintah Indonesia, menuding adanya percobaan genosida di Aceh. Surat terbukanya bahkan dimuat oleh The New York Times.

Penolakan perintah Jakarta untuk kembali dan keputusannya mendaftarkan diri sebagai Duta Besar serta Menteri Luar Negeri Negara Islam Indonesia di PBB, membuatnya menjadi tanpa kewarganegaraan. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya.


Dari Pengusaha Sukses hingga Deklarator GAM

Berdiskusi dengan Mukhtar Lubis di New York, Hasan Tiro menyadari bahwa jalan konstitusional sudah buntu. Ia mulai merumuskan pemikirannya dalam risalah "Demokrasi untuk Indonesia" pada 1958, mengkritik konsep negara kesatuan dan menawarkan konsep federasi. Namun, seiring waktu, pandangannya semakin berkembang dan ia mulai meminggirkan Indonesia dari pemikirannya. Buku berbahasa Acehnya, "Aceh Bak Mataia" (Aceh di Mata Dunia) yang terbit pada 1968, menjadi manifestasi lain dari perubahan perspektifnya.

Ironisnya, di tengah pergolakan ideologis, Hasan Tiro juga mencapai kesuksesan finansial di Amerika Serikat sebagai Presiden Direktur Doral International Limited. Namun, insiden pesawat jetnya yang mati di atas gunung pada 4 September 1976 menjadi momen spiritual baginya. Ia berjanji akan mengabdikan sisa hidupnya untuk Aceh jika selamat.

Dua bulan kemudian, ia menepati janjinya. Meninggalkan kehidupan mapannya, Hasan Tiro kembali ke Aceh dan pada 4 Desember 1976, mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunung Cokjanpidi. Dimulailah perang gerilya yang berlangsung hampir 30 tahun.



Perjuangan, Tsunami, dan Perdamaian di Helsinki

Sebagai pemimpin GAM, Hasan Tiro menjadi buruan utama pemerintah Orde Baru. Namanya ditakuti dan fotonya dilarang. Di bawah kepemimpinannya, GAM bahkan melatih sekitar 1000 personel militernya di Kamp Tanzura, Libya, antara 1986-1990.

Meskipun Hasan Tiro sempat terserang stroke pada 1995, kesadaran politik yang ia tanamkan terus berkembang di Aceh. Setelah reformasi dan tumbangnya Soeharto, bendera Aceh Merdeka kembali berkibar, menunjukkan semangat perjuangan yang tak padam. Perundingan damai di Tokyo pada 18 Mei 2003 menemui jalan buntu karena GAM menolak otonomi khusus di bawah NKRI, berujung pada penetapan status darurat militer di Aceh.

Namun, bencana tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004 mengubah segalanya. Tragedi ini membuka hati kedua belah pihak dan mendorong mereka untuk mencapai perdamaian. Akhirnya, perjanjian damai ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. GAM bersedia menyerahkan senjata dan menarik pasukannya, sementara pemerintah Indonesia memberikan keistimewaan pada Aceh.

Hasan Tiro kembali ke Aceh pada 11 Oktober 2008 dan disambut ribuan massa, sebuah momen haru yang menandai akhir dari pengasingan panjangnya.


Pemulihan Kewarganegaraan dan Kepergian Sang Pendiri

Tengku Hasan Muhammad di Tiro menghembuskan napas terakhirnya pada 3 Juni 2010, di usia 84 tahun. Menariknya, pada hari yang sama, status kewarganegaraan Indonesianya yang dulu dicabut, dipulihkan kembali oleh negara. Sebuah pengakuan yang datang di akhir hayatnya, menutup babak panjang perjuangan. Ia dimakamkan di samping leluhurnya, Tengku Cik Di Tiro.

Kisah Hasan Tiro adalah cerminan dari kompleksitas sejarah Indonesia. Dari seorang nasionalis yang mencintai bangsanya, ia berubah menjadi seorang pemimpin gerakan separatis yang memperjuangkan kemerdekaan daerahnya. Namun, pada akhirnya, ia menjadi bagian dari proses perdamaian yang membawa Aceh menuju era baru. Sebuah kisah yang mengajarkan kita tentang bagaimana cinta, kekecewaan, dan keyakinan dapat membentuk jalan hidup seseorang dan bahkan sejarah sebuah bangsa.




Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment