Hidup Dalam Mimpi
Matahari begitu pongah bertengger di atas sana. Sepertinya ia tersenyum puas melihat orang-orang sepertiku yang kepayahan berjalan siang ini. Aku mulai memasuki gerbang sebuah komplek. Rumahnya bagus-bagus, dengan cat warna-warni enak dilihat. Halaman-halamannya dihiasi bunga daun indah terawat. Pagarnya macam-macam, dari mulai hanya barisan belahan bambu sampai yang tinggi kokoh runcing berkawat. Tidak seperti rumahku yang kecil lagi kumal dan kusam tidak terawat.
Disebuah rumah berpagar warna putih. Di halamannya aku melihat seorang gadis yang mungkin seumurku duduk memegang boneka. Dia bersih, putih, rambut hitam berkilau panjang terawat dengan balutan bando merah jambu. Dengan baju terusan berwarna putih motif bunga warna-warni. Dia tampak serius menyisir rambut pirang bonekanya sampai tak menghiraukan gelas berisi air dingin berwarna hijau yang baru dibawa wanita berdaster. Aku berhenti sejenak, menatapnya.
Gadis tadi mungkin sadar aku melihatnya. Dia kemudian menatapku air mukanya tampak tegang dan langsung bergegas masuk ke dalam. Meninggalkan gelas berisi air dingin berwarna hijau.
* * *
Aku tak tahu sudah berapa lama aku berjalan. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari arah matahari. Aku haus menuju sumber suara. Berjalan di depanku seorang bapak tua bertopi abu kaos coklat lengan panjang dan sandal jepit warna putih hijau mendorong gerobak warna putih hijau. Mungkin kami searah, sama-sama menuju sumber suara adzan jumat siang ini.
Tempat sholat ini terasa sejuk. Mungkin karena kipas angin yang berada tepat di atas kepala dan hilangnya dahaga di tempat wudlu. Aku duduk bersila, menunduk di sebelah seorang pria berpakaian coklat dengan bedge Dinas Kota pada lengan kiri yang tampak gelisah. Ketika waktu sholat tiba, ia bergegas mencari shaf di depan menjauh sebelum menatap aneh padaku.
* * *
Kusimpan pikulanku di bawah kursi di sebuah halte. Menunggu hujan reda. Selurus pandanganku mobil-mobil tampak melaju tergesa meninggalkan cipratan-cipratan air halus. Tak jauh dari tempatku duduk, ada anak kecil bersama wanita. Tangan kanannya menggenggam tangan kiri wanita itu. Tangan kirinya menggenggam sebuah terompet cantik berwarna merah menyala bertabur kilauan-kilauan warna emas. Sesekali dia meniup terompet beradu suara dengan deras hujan dan deru kendaraan.
Tak lama, sebuah sedan bagus berwarna hitam merapat pada halte. Wanita dan anak kecil tadi melambai dan tersenyum renyah. Terlihat sayup di balik kemudi seorang pria juga tersenyum dan melambai. Wanita dan anak kecil tadi bergegas menghampiri mobil, si wanita duduk di sebelah pengemudi, sementara si anak duduk di belakang.
Mobil itu berlalu, sama seperti mobil-mobil lain, meninggalkan cipratan-cipratan air halus ke udara membawa wanita dan anak kecil tadi. Hujan masih deras, aku menopang dagu. Tatapanku kosong menatap jauh. Aku melamun, teringat seorang kawan bernama Ju’en.
Ju’en seumurku, dia tetanggaku. Kami sempat belajar bersama kelas satu. Kemudian ia menghilang. Temanku yang lain bilang, Ju’en ngamen di perempatan dekat pasar induk. Punya penghasilan sendiri.
Kelas tiga, giliran aku yang keluar. Bang Jurkim mengajakku berjualan. Barang dagangan yang kubawa sekarang. Batu-batu setengah bulat dengan gagang kecil. Masih kulakoni hingga sekarang. Hingga aku harusnya berpakaian putih biru.
Lima bulan lalu aku dapat kabar Ju’en menghilang. Di tempat biasa dia mangkal hanya ditemui kaleng lem aibon dan kecrekan kayu berpaku tutup botol. Ju’en tak diketemukan. Seperti hilang ditelan bumi.
* * *
Hujan sudah reda, aku melanjutkan perjalanan. Mencari pembeli yang semoga kutemui hari ini. Kalau saja ayahku bukan tukang ojeg, ibuku bukan buruh cuci dan tidak bersaudara banyak, mungkin sekarang aku sedang bermain di halaman rumah seperti gadis siang tadi. Atau ibuku akan membelikan terompet untukku seperti anak kecil tadi. Atau mungkin seperti sekelompok anak-anak berpakaian putih biru di toko buku.
* * *
Dua potong ubi goreng dan segelas minuman menyapa cacing dalam perut. Syukurlah tadi ada ibu-ibu tua yang membeli satu daganganku. Aku tidak boleh menghabiskan semuanya. Sesuai janji Bang Jurkim, aku hanya diperbolehkan menggunakan dua ribu dari setiap barang yang kujual. Dan Bang Jurkim juga bilang agar aku naik angkot jika sudah selesai keliling. Biarpun tak ada barang yang laku, biar dibayar di depan gang saja katanya. Bang Jurkim juga selalu bilang agar aku tetap selalu bersyukur. Mensyukuri rejeki yang kita peroleh. Menikmatinya walau sedikit. Biarpun sulit, harus tetap jujur dan jangan lupa sholat.
Aku tak sabar untuk segera pulang. Aku tak sabar untuk segera sampai rumah untuk segera beristirahat. Melepas penat dan hidup dalam mimpi malam ini. Seperti malam-malam biasanya.
_______________________________ , terinspirasi dari ujang
0 komentar :
Post a Comment