Peradaban Hebat itu lahir dari Keluarga Hebat

Ilustrasi keluarga - finansialku.com
Jadi orangtua mah kudu sabar, sok buktikeun weh…

Begitu kata orangtua waktu menjenguk istri saat melahirkan anak pertama kami, Damar. Harus banyak-banyak sabar dalam mendidik anak katanya. Dan jangan kaget, nanti kelakuan orangtua bakal banyak tercermin pada kelakuan anak. Bukan cuma kelakuan yang baik saja, tapi yang buruk juga.

Do’a saya dan istri untuk anak pertama ini bisa dibilang banyak. Kepingin dia jadi pemimpin, punya karakter baik, dan seterusnya. Dan kami memang paham akibat konsekuensi do’a kami tersebut. Makanya di akhir do’a kami harus menambahkan agar diberi kepantasan untuk menghasilkan anak yang demikian. Dan terbukti, anak yang baru menginjak 2 tahun 7 bulan ini benar-benar keras kepala. Jangan harap bisa mengajaknya melakukan sesuatu yang dia sedang tidak mau dengan iming-iming hadiah.

Triknya ya kalau ingin Damar melakukan sesuatu yang menurut kami baik, maka kami berupaya untuk mengeluarkan emosi baik hingga dia nyaman dan senang. Dan trik ini berhasil, sehingga saya dan istri menarik kesimpulan kalau anak adalah peniru emosi yang baik. Kalau emosi yang dikeluarkan dia suka, maka dia akan menirunya. Salah satu bukti yang kami lakukan adalah saat saya makan makanan pedas. Biasanya anak umur segini paling anti sama makanan panas dan pedas. Tapi saya mencontohkannya dengan wajah tersenyum dan berusaha mengeluarkan suasana hati bahagia. Waktu saya suapi Damar, jelas saya menyuapinya dengan wajah bahagia dan suasana hati bahagia. Kepedesan? Sudah tentu! Tapi Damar tidak menangis atau pun kapok. Setelah minum air, dia minta lagi.

Ya itu salah satu trik untuk memberikan sesuatu kebiasaan baik. Disamping selalu mencoba untuk ajak shalat setiap adzan berkumandang. Setidaknya anak umur segini sedang senang-senangnya main air. Dan wudlu bisa jadi jembatan kegiatan yang menyenangkan untuk kebiasaan baik ini. Walaupun Damar lebih senang keliling-keliling ketimbang mengikuti saya dalam gerakan shalat, tapi setidaknya dengan mengunci semua akses keluar kamar membuat lebih fokus ibadah. Baru lah setelah selesai ganti bajunya karena wudlu pasti membuatnya basah kuyup.

Disamping membiasakan diri dan anak dengan kebiasaan-kebiasaan baik, kami juga rajin mencari informasi. Beruntung lah hidup di era sekarang dimana semua orang bisa berbagi cerita dan panduan mendidik anak. Semua tersebar bebas. Tinggal pilah dan pilih mana yang sesuai dan terpercaya. Salah satu informasi yang menurut kami valid adalah soal usia emas pertumbuhan. Dimana usia emas tersebut hadir pada usia 0 hingga 5 tahun. Pada usia ini lah (kami percaya) watak dan kebiasaan baik yang dasar bisa dengan mudah ditanamkan.


Penanaman kebiasaan baik ini tentu harus sesuai dengan pola pertumbuhan si anak. Dan informasi itu berseliweran di grup Birth Club tempat istri bergabung. Sebuah komunitas emak-emak (sebut saja begitu) yang memiliki anak dengan rentang kelahiran pertengahan Desember 2015 hingga pertengahan Februari 2016. Selain jadi tempat berkumpul emak-emak senasib sepenanggungan karena memiliki anak seumuran, juga jadi tempat berbagi informasi. Dari mulai mengenalkan montesori, hingga berbagi cerita dalam menerapkan kebiasaan baik. Sekarang, di usia Damar 2,6 tahun, selain kami terus melatih motoric halus dan kasar, kami masih berjuang untuk mengajarkan toilet training.

Montessori adalah sebuah metode pendidikan untuk anak-anak berdasarkan teori perkembangan anak dari Dr. Maria Montessori, seorang pendidik asal Itali di akhir abad 19 dan awal abad 20. Ciri metode ini adalah penekanan pada aktivitas pengarahan anak dengan pengawasan orang dewasa. Metode ini menekankan pentingnya penyesuaian dari lingkungan belajar anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Contohnya, sekarang Damar sedang senang-senangnya memindahkan objek dari satu wadah ke wadah lain. Seperti memindahkan air dari botol ke dalam gelas, atau memindahkan pasir dari kotak satu ke kotak lain. Kami kemudian fasilitasi dengan kegiatan menyiram tanaman atau membiarkannya bermain di bak pasir di taman. Bumbunya sambil mengenalkan truk dan excavator. Kegiatan ini bisa diselipkan juga sambil mengenalkan bentuk dan warna (walaupun kadang-kadang terlewat).


Perlu diingat juga kalau orang hebat itu lahir dari orangtua yang hebat. Ini bukan soal bicara kemampuan finansial, tapi juga kemampuan mendidik dan memberikan kebiasaan baik. Saya ingat betul saat saya menonton talkshow Sarah Sechan dengan bintang tamu Dian Sastro waktu itu. Ada segmen dimana Dian Sastro kecil sudah dibiasakan membuat resensi buku yang dia baca. Dimulai sejak balita bahkan. Ibunya mengenalkan buku cerita dengan cara yang menyenangkan hingga akhirnya Dian bisa dibilang tergila-gila dengan buku bahkan hingga rajin membuat resensi dan mempresentasikan pada ibunya setiap minggu.

Jangan bayangkan presentasi resensi itu seperti presentasi seorang mahasiswa pada dosennya atau presentasi sales pada rapat perusahaan. Tapi bisa seperti mengulas dan menggali memori saat menjelang tidur dengan santai misalnya. Arahkan dan ajarkan apa yang baik dan apa yang tidak saat itu sambil merangsang untuk menggali lebih jauh.

Dian Sastro hanya satu dari banyak sekali contoh keluarga hebat Indonesia di luar sana. Lihat saja daftar Keluarga Hebat yang dirangkum oleh sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id. Di sana banyak sekali inspirasi keluarga hebat yang kalau dibaca bikin minder sekaligus termotivasi. Salah satunya Buffon Sinaga, siswa kelas 5 SD yang berhasil memenangkan kelas junior di kejuaraan karate internasional di Belgia pada 1 November 2017 lalu.

Pentingnya peran keluarga ini perlu disadari betul. Bukan hanya jadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 30 tahun 2017 saja, tapi harus kita laksanakan demi mencapai tujuan pendidikan nasional. Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Setidaknya ada 4 poin penting peran keluarga untuk pendidikan anak;

1. Menumbuhkan nilai-nilai karakter anak di lingkungan keluarga.
2. Memotivasi semangat belajar anak.
3. Mendorong budaya literasi.
4. Memfasilitasi kebutuhan belajar anak.

Terlihat sepele, tapi sebenarnya sangat berat. Apalagi kalau ditelisik lagi ada setidaknya 18 pendidikan karakter menurut Diknas. Religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab.

Bagaimana mewujudkannya? Sekarang yang saya dan istri pegang adalah bagaimana memperbaiki diri terlebih dahulu sebelum memperbaiki (memberi contoh) pada anak (orang lain). Apakah kita punya 18 pendidikan karakter yang ingin kita tanamkan pada anak? Kalau belum ya harus berbenah diri. Sederhananya, bagaimana kita bisa punya anak yang rajin ibadah kalau kitanya sendiri tidak mencontohkan rajin ibadah?

Saya sih percaya, peradaban hebat itu hadir dari keluarga hebat. Karena keluarga adalah pintu gerbang untuk menciptakan generasi yang hebat.

Bukan begitu?

#SahabatKeluarga
Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment