Beberapa hari terakhir ini saya sempat heran dengan kasus pencurian sandal jepit milik anggota brimob yang mencuat. Yang menariknya si pelaku yang juga siswa SMK negeri 3 Kota Palu, Sulawesi tengah ini sampai diancam 5 tahun penjara. Kasus aneh ini sukses menyedot perhatian banyak pihak, dari mulai Kapolri, Kak Seto, bahkan sampaiPresiden. Secara hukum, ini kasus pencurian. Bisa diperkarakan. Tapi secara kemanusiaan, mungkin tidak masuk akal karena hanya dengan mencuri sandal seharga Rp30.000 bisa diancam hukuman 5 tahun penjara.
Kasus ini jelas mengingatkan saya pada kisah Nenek Minah yang pada Agustus 2009 diadukan ke polisi karena memetik 3 buah kakao milik PT. Rumpun Sari Antan (PT. RSA). Buat sebagian orang, kasus ALA dan Nenek Minah adalah contoh bentuk ketidakadilan yang entah berpihak pada penguasa ataupun pada pelakon ekonomi besar. Banyak yang menentang, banyak yang menghujat, banyak yang mencibir. Semua mungkin beropini faktor ekonomi, politik dan sebagainya.
Saya pribadi mengingat dan menonton kembali acara Mata Najwa yang bertajuk Rimba Pidana di MetroTV. Pada segmen kedua episode tersebut dihadirkan Hamdani seorang mantan buruh pabrik yang dihukum penjara dengan tuduhan mencuri sandal bolong dan dosen filsafat hukum Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat Widodo Dwi Saputro. Segmen ini menarik karena Pak Dosen memaparkan bahwa penegak hukum masih menggunakan KUHP yang lahir pada tahun 1881 (pada masa kolonial) berisi nilai yang dapat diperkarakan adalah 26 gulden, kemudian direvisi menjadi UU no 16 tahun 1960 menjadi Rp250. Menurut Pak Widodo, UU ini masih belum direvisi lagi hingga sekarang. Rp250 mungkin tidak berarti masa sekarang, untuk membeli gorengan saja butuh Rp500 setidaknya di Cilegon. Kalau misalnya Rp250 itu pada tahun 1960 setara dengan 10gr emas, maka harusnya idealnya pun untuk masa sekarang juga mengikuti harga emas. Misal harga 1gr emas Rp450.000 maka nilai minimum yang bisa diperkarakan adalah Rp4.500.000.
Masih menurut Pak Widodo, harusnya sebelum sebuah kasus pencurian dipidanakan, harus dianalisa terlebih dahulu dampak sosial ekonominya. Selama UU no 16 tahun 1960 tidak direvisi dan selama hakim, jaksa, polisi belum menjadi 'manusia' maka percayalah kasus-kasus ini akan kembali terulang.
____________________________
, catatan seorang awam hukum yang sotoy
, catatan seorang awam hukum yang sotoy
0 komentar :
Post a Comment