Seperti Kupu-Kupu, Warteg juga Bermetamorfosis




Perlu diketahui, WARTEG adalah pelopor teknologi touch screen di dunia.

Begitu kata teman saya. Sebelum ada layar sentuh yang marak bertebaran di smartphone, bahkan jauh sebelum itu, WARTEG sudah hadir dengan gaya tersebut. Mau makan apa, tinggal tunjuk-tunjuk saja. Nanti biar si-embak-nya yang ambilkan untuk kita. Tinggal pilih saja, mau pakai metode touch screen atau voice order. Keduanya bisa dilayani.



Hampir semua orang yang pernah menjajal makan di WARTEG sepakat, kalau harga yang ditawarkan oleh WARTEG ini paling murah dibandingkan tempat makan yang lain. Selain murah, porsinya juga luar biasa banyak. Rasanya kalau nasi belum menutupi piring itu kurang afdol.

WARTEG sendiri adalah kepanjangan dari WARung TEGal. Sebuah warung nasi yang biasanya dimiliki orang yang merantau dari Tegal. Tampilannya pun sederhana. Biasanya pada bagian depan terdiri dari sekat-sekat kayu yang tersusun rapih.

Biarpun WARTEG mengusung teknologi touch screen dan voice order, kesan WARTEG hanya untuk kalangan bawah jelas terasa. Entah kenapa televisi era 90an hingga 2000an awal mengesankan bahwa orang dengan logat ngapak ala Tegal diidentikkan sebagai sosok yang kampungan dan norak. Ditambah lagi dengan harganya yang murah, lengkap sudah WARTEG menjadi tempat makan kelas bawah.

Warteg Jadul

Padahal, siapapun yang datang ke WARTEG ini pasti dilayani dengan baik. Siapapun bisa makan dengan gayanya masing-masing. Kalau dalam lirik lagu Peterpan dulu, kaki di kepala, kepala di kaki. Semua bebas dengan gayanya masing-masing. Kalau soal rasa jangan ditanya, itu mah soal selera.

Untuk mengurangi kesan kumuh dan kelas bawah, banyak pengusaha WARTEG sepertinya meniru toko-toko retail. Contohnya warung dan toko yang dulu marak dijumpai. Sekarang sudah tergantikan oleh minimarket dengan tampilan yang kinclong, terang benderang dan adem. Lebih kekinian lagi, minimarket sudah menjadi gaya hidup baru untuk nongkrong dengan segala makanan yang tersedia.



Bukan cuma soal cemilan saja. Minimarket untuk nongkrong juga dilengkapi dengan berbagai macam jenis minuman. Dari minuman yang panas, hingga minuman yang bikin otak beku.



Kembali lagi ke soal WARTEG yang berevolusi. Sekarang banyak sekali dijumpai banyak WARTEG yang naik kelas. Tampilan yang dihidangkan sudah tidak terkesan kumuh lagi. Warna-warna yang dulu digunakan dominan merah tua atau biru telor asin sekarang berubah menjadi warna-warna cerah seperti hijau dan kuning.

Tampilan anyar warteg. Terang dan 24 Jam


Entah siapa yang pertama memulai. Di Jakarta saat ini menjamur sekali WARTEG dengan model seperti ini. Dominan hijau dan kuning dengan tulisan tempat nama WARTEG menyerupai tulisan brand yang biasa digunakan pada rumah makan padang. Melengkung seperti rumah gadang.

Beberapa WARTEG dengan tampilan serupa juga memiliki nama yang sama. Ada KHARISMA, PUTRI BAHARI, BAHARI dan lain-lain. Jangan-jangan WARTEG era modern sekarang sudah mengenal metode franchise. Terbukti pada beberapa tempat yang saya datangi mereka mengaku bergilir setiap 4 bulan sekali di beda-beda tempat.

Dari jaman kuliah dulu, saya sudah hapal betul gaya-gaya warung nasi, termasuk WARTEG di dalamnya. Saya punya menu favorit kalau datang ke WARTEG. Sebuah menu sederhana yang terdiri dari sayur tahu, tempe orek basah, dan telur dadar. Selebihnya bisa ditambahkan kuah gule atau kuah sayur tahu tadi dan ditambah sambal. Itu menu enak yang paling murah menurut saya. Dan harganya sangat bersahabat.

Menu favorit standar di warteg


Saya pun punya teori untuk menemukan WARTEG  yang enak. Adalah dengan menu semur jengkol atau jengkol balado atau apapun yang ada jengkolnya. Cukup rasakan saja jengkolnya. Saya percaya, ketika jengkol diolah dengan orang yang jago masak, maka jengkol tersebut tidak akan terasa pahit, tidak menyebabkan bau berlebihan ketika buang air kecil dan buang air besar. Dan yang terakhir, kekenyalan jengkol bisa serupa seperti daging. Mungkin itulah sebabnya kenapa jengkol pernah lebih mahal daripada daging. Haha

Jengkol Balado

Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment