Aku Ingin Menggantikan Ayah
Aku adalah anak nelayan di pesisir utara pulau besar ini. Kota pesisir yang konon katanya penghasil nomor satu ikan laut. Bahkan pemasok utama pangan laut untuk ibu kota negara ini. Aku pernah membaca pada lembar koran usang, katanya ibu kota negara ini sampai 9 juta orang lebih penghuninya dan terkenal semrawut.
Sekarang aku duduk di kelas 8 sebuah SMP negeri. Mungkin kalau bukan karena bantuan dari Pak Hidayat si pengepul ikan, aku tak akan bisa sekolah. Mungkin sekarang aku seperti anak-anak sebayaku yang tak beruntung, setiap hari membantu menjemur ikan teri. Dan tak pernah merasakan nikmatnya melanjutkan sekolah.
Setiap kali bangun pagi, jangan berharap menghirup udara bersih di sini. Hanya bau amis menusuk hidung hasil tangkapan ikan teri. Jangan harap bisa mandi dengan air bersih di sini. Hanya air laut lengket yang membersihkan setiap pagi. Akulah si anak pantai yang tak pernah merasakan hidup santai. Yang merasakan nikmatnya daging sebulan sekali.
Setahun lalu perkampungan sempat didatangi oleh banyak sekali rombongan berseragam. Hari pertama, mereka berseragam biru laut yang cerah. Hari kedua ada lagi rombongan dengan pakaian senada kuning membagikan televisi warna hitam. Seterusnya selama sebulan didatangi rombongan dengan ritual yang meriah. Hasilnya, rumah-rumah di sini banyak dihiasi kipas angin, televisi, dispenser dan barang-barang elektronik lainnya. Padahal kampung ini hanya dialiri listrik 4 jam setiap harinya. Itupun tak sanggup membuat barang-barang tadi menyala.
Setiap mereka yang datang selalu berbicara soal kesejahteraan dengan menggebu-gebu. Hampir setiap kalimat yang mereka ucapkan selalu diawali dengan saya akan. Suaranya lantang mengalahkan motor kapal yang menderu. Berwibawa, gagah dan lantang dengan mikrofon di tangan.
Pak Dinul guru agamaku sering bilang, orang munafik adalah orang yang dimurkai tuhan, katanya ada tiga tingkat. Bila berbicara selalu bohong, bila berjanji, dia ingkar, dan yang terakhir, bila diberi kepercayaan selalu berkhianat. Semoga saja sekolah gratis yang sempat dijanjikan tidak terlambat. Tidak harus merengek-rengek pada Pak Hidayat.
Sudah sebulan terakhir ini aku tidak melihat ayahku melaut. Hari-harinya diisi dengan bekerja pada gudang Pak Rahmat. Katanya ada proyek dengan keuntungan berlipat-lipat. Ayahku berjanji, bulan depan kita akan makan daging dan makanan-makanan sehat. Kebutuhan sehari-hari kami disokong Pak Rahmat.
* * *
Siang itu sepulang sekolah, perkampunganku tampak ramai kerumunan orang. Ada mobil polisi terparkir manis di bibir dermaga. Aku mendekati keramaian di sana. Pada sela-sela keramaian, aku melihat ibuku menangis histeris. Ibuku tampak berlutut memohon pada seorang pria berseragam polisi dengan kumis baplang. Tepat di depan pria berseragam itu ada dua orang lain dengan seragam sama menggiring ayah menuju mobil polisi.
Apa salah ayahku? Aku terduduk lemas menangis di samping ibuku di sebelah perahu yang tertutup terpal berwarna biru dengan bau solar yang menyengat. Aku ingin cepat besar. Aku ingin segera melaut. Sekedar menggantikan peran ayahku yang aku tak pernah tau apa salahnya memasok solar untuk melaut.
_____________________________
, selamat hari nelayan
0 komentar :
Post a Comment