Kalau Tidak Dijaga, Nanti Mewariskan Apa?



Kenapa sih di fly overkalau sore-sore suka banyak yang nangkring? Biasanya gerombolan muda-mudi, pasangan muda-mudi atau yang paling banter pasangan yang baru punya balita. Ada yang selfie, ada yang ngobrol-ngobrol sambil ehem megang pinggang, ada yang sambil ngemut-ngemut es mambo atau sambil ngemil. Tapi yang paling banyak itu bengong berjamaah sambil ngeliatin mobil lalu-lalang di bawah jembatan.

Sebenarnya fenomena di atas itu bukan lantaran fly overadalah serupa bangunan megah abad ini yang bisa dijadikan tempat tongkrongan. Bukan pula kecintaan manusia terhadap jembatan besar yang tinggi menjulang yang kuat dilewati mobil-mobil besar. Hal ini terjadi karena sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Eh salah. Hal ini terjadi karena sejatinya kita sebagai manusia merdeka ingin juga merasakan alam bebas berupa ruang terbuka.

Sebenarnya bukan soal fly overatau bukan. Coba lihat BKT. Tau kan Banjir Kanal Timur? Coba satronin sore-sore ke sana waktu berangin sepoi-sepoi dan suasana cerah. Dijamin banyak wajah-wajah hepi lalu lalang di sana. Sama seperti fly over, banyak ragamnya.

Kembali lagi ke soal ruang terbuka. Sadar ataupun tidak kita sebagai mahluk ciptaan sang pemilik semesta alam ini adalah mahluk sosial. Artinya kita perlu berinteraksi dengan sesama manusia lain. Interaksi dengan sesama manusia lain itu paling yo’i kalau ada di ruang terbuka. Ini bukan soal cuci mata karena bisa liat mahluk-mahluk yang okeh, tapi soal kesadaran untuk menikmati udara terbuka.

Mungkin di luar sana masih banyak manusia-manusia ajaib yang lebih senang mengurung diri di dalam ruangan seperti manusia goa. Sampai-sampai rela membeli pengatur udara yang mengandung ion. Katanya bisa menggantikan kesegaran udara bersih. Coba deh buat yang senang mengurung diri dalam ruangan, sesekali datang ke ruang terbuka, lebih oke lagi kalau datang ke tempat ruang terbuka hijau, semodel taman kota atau hutan kota. Jangan datang sendirian. Coba datang sama ehemnya atau sama teman-teman dekat. Gelar tiker, gelar botram (baca : makan bersama) atau acara sejenisnya. Coba rasakan bedanya, jalanin aja selama 2 atau 3 kali sebulan.

Saya termasuk ke dalam kumpulan onggokan manusia yang merasakan asiknya ruang terbuka hijau. Ingat waktu kuliah di Bandung. Tahun pertama kuliah, di Bandung ada acara yang namanya dago festival. Iseng lah sama teman-teman yang di Bandung dijamuke sana. Dan saat itu saya sadar kalau saya benci sekali keramaian. Persis dekat tukang roti bakar tenda di bawah kaki fly over saya mengeluarkan isi perut (baca : muntah) karena tidak tahan dengan ramainya manusia. Sejak saat itu, saya seolah mendaulat diri menjadi manusia goa yang tak kenal dengan peradaban. Diajak teman keluar, hampir pasti menolak. Selain karena enggak punya doku juga memang kurang suka.

Lama-lama saya semakin sadar kenapa saya begitu tidak suka dengan tempat ramai. Bukan soal manusianya ternyata, tapi soal oksigen. Iya, ternyata saya sangat tidak nyaman dengan kondisi yang minim oksigen. Bikin nyesek. Bikin puyeng. Dulu waktu masih ehem-ehem sama si dia, saya sering diajak ke taman kota. “piknik yuk”, katanya. Mengingat hati sedang berbunga-bunga, pokoknya kalau sama si dia mah kemana aja ayo.



Beberapa kali diajak ke hutan kota, begitu terkesan. Betapa tidak, hutan kota yang letaknya sangat dekat dengan jalan raya yang ramai saja nyaris tak terdengar bisingnya kendaraan. Rimbunnya pepohonan membuat suara-suara bising tadi lenyap. Udaranya yang segar bikin kecanduan. Bahkan ketika pindah tempat tinggal di daerah Srengseng Jakarta, tempat pertama yang saya datangi adalah hutan kota Srengseng.

Tinggal dekat dengan hutan kota sungguh berkesan. Siang hari, Jakarta yang katanya kayak nerakaagaknya salah. Siang hari, saya cukup membuka jendela, lantas angin segar menyapa. Alhasil kesehatan paru-paru lebih kuat. Lebih kerasa waktu berjalan jauh. Nafas lebih panjang.



Ketersediaan ruang terbuka hijau sebesar 30 persen untuk setiap kota membuat keberadaan hutan kota menjadi eksis.Keberadaannya sangat membantu daerah Srengseng dalam mengurangi banjir. Terlebih lagi setelah normalisasi kali sebelah hutan kota Srengseng. Pada akhir 2014 lalu, banjir yang timbul karena hujan deras berhari-hari, hanya surut dalam hitungan jam.

Kemana perginya air yang menggenang? Ia mengalir jauh ke dalam tanah dan dialirkan menyusup pori-pori bumi. Kemudian disimpan dan disaring untuk dipergunakan lagi sebagai air sumur. Bayangkan kalau ruang terbuka hijau sedikit. Bayangkan kalau saluran air dengan gampangnya tertutup dengan sampah atau beton. Kita hanya berpangku tangan menunggu matahari menyedot habis air yang menggenang. Dengan tentu saja terus menggerus debit air yang ada di dalam tanah.

Agaknya wajar kalau pemerintah daerah memberikan denda yang fantastis untuk siapa saja yang membuang sampah ke dalam saluran air. Ini bukan hanya tanggung jawab pelakon negeri untuk menjaga. Tapi juga penghuninya juga perlu sadar. Penghuninya ya kita-kita ini. Kalau bukan lingkungan kita yang jaga, nanti warisan buat cicit-cicit kita apa?
Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment