ilustrasi uber dan grab - viva.co.id |
Kultur yang tidak sesuai
Uber seperti kita ketahui lahir pertama kali di Paman Sam Amerika Serikat sana. Dan dia sudah besar di Amerika dan Eropa. Saat masuk ke Indonesia, ride sharing ini tentu punya kultur sesuai dengan asalnya. Amerika dan Eropa menjunjung kesetaraan sekali. Sementara di Indonesia, iya setara tapi ada tapinya. Sederhananya begini, pernah dilarang main HP di SPBU Pertamina? Saya sih tidak pernah, tapi kalau di SPBU Shell, petugasnya pasti dengan sigap melarang kita main HP. Jangankan main HP, saat isi bensin dengan motorpun harus turun. Demi keselamatan katanya.
Suka tidak suka, Indonesia dan kebanyakan negara di Asia Tenggara bekas kerajaan-kerajaan. Dimana sistem feodalis sudah mengakar pada sistem kita. Kita senang dilayani dan senang disanjung. Suka tidak suka, sadar tidak sadar, itu terjadi.
Gojek mendominasi
Gojek adalah salah satu startup yang sudah menjadi unicorn di Indonesia. Apalagi dengan masuknya arisan investasi dari Google dan Astra tempo hari membuat Gojek semakin merajai pasar di Indonesia. Dengan mudah Gojek bisa menjelma jadi peramal yang bisa memprediksi makanan mana yang paling sering dipesan pada siang hari di daerah tertentu. Modal ini bisa membuatnya semakin menjadi raksasa.
Gempuran Gojek yang komplit dengan GoPay dan segala layanannya membuat Uber sepertinya kurang diminati. Ya walaupun untuk orang-orang yang terlanjur senang dengan kredit card pasti lebih memilih Uber dan Grab. Tapi kalau sudah masuk GoPay, walah pasti ngerembet kemana-mana.
Mekanisme yang berbeda
Sejauh yang saya tahu, mekanisme dispatch dari 3 raksasa ride-sharing ini beda-beda mekanismenya. Gojek melakukan dispatch dengan langsung menunjuk driver. Grab melakukan dispatch dengan bidding terhadap 3 driver, dimana setiap driver punya waktu 5 detik untuk mengambil order saat terdispatch. Dan ketika dia telat atau reject order, masih ada 2 driver terdekat lain untuk memilih order. Itu sebabnya Grab punya waktu 15 detik untuk mendapatkan driver.
Sedangkan Uber, dengan konsep pasti dapat, maka sistem dispatch-nya mencari driver pada radius (kalau tidak salah) hingga 15 km. Bayangkan radius 15 km ini yang membuat driver sering mengeluh betapa jauhnya titik jemput yang harus dituju. Walaupun minggu lalu saya sempat ngobrol dengan salah satu driver Uber kalau dihitung-hitung, mingguannya sama saja dengan driver Grab dan Gojek dengan segala insentifnya.
Uber dapat saham Grab 27%
Gosipnya sih Uber dapat saham Grab di Asia Tenggara sekitar 27%. Efeknya seluruh layanan Uber yang berada di Asia Tenggara pindah semua ke Grab. Untung buat Grab ya dapat user-user setia dari Uber. Dan perlu diingat salah satu user setia dari Uber adalah orang-orang Eropa dan Amerika yang berkunjung ke Asia Tenggara. Mereka yang sudah punya appsnya di HP malas lah install ride sharing lain, langsung pakai Uber saja.
Entah bagaimana mekanismenya untuk memaksa bule-bule itu install aplikasi Grab.
Dengan saham 27% di Asia, Uber bisa lah sedikit kilik-kilik sistemnya Grab. Walaupun tidak signifikan, tapi pasti ada perubahan secara sistem setelah sahamnya dimiliki oleh Uber. (sumber)
Bagaimana nasib driver Uber?
Katanya sih bisa gabung dengan Grab. Tapi kudu daftar lagi. Dan ini tentu dilakukan manual. Rada amsyong juga untuk driver Grab. (sumber)
Uber, Grab - cnnindonesia.com |
Belakangan diketahui kalau Uber melebur dengan Grab ini salah satunya karena peran investor besar Softbank. Rencana Uber yang mau IPO tentu tidak boleh ada cacat. Apalagi kalau sampai ketahuan Uber di Asia Tenggara merugi, ya pasti jelek tuh IPOnya. Makanya mending melebur saja sama Grab, toh dapat saham 27% juga dari Grab Asia Tenggara. Makin moncer tuh rencana IPOnya. (sumber)
Perlu diingat, seidealis-idealisnya sebuah produk pasti bakal kalah juga dengan kebutuhan pemodal. Apalagi kalau ketahuan rugi, ya pemodal juga gak mau rugi juga lah.
Udah gitu aja.
0 komentar :
Post a Comment