Ali Sadikin: Gubernur Kontroversial yang Membangun Jakarta Modern

 


Ali Sadikin, nama yang tak lekang dari ingatan warga Jakarta. Ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dari tahun 1966 hingga 1977, sebuah periode yang transformatif bagi ibu kota. Dikenal sebagai sosok yang tegas dan tak kenal kompromi, kepemimpinannya seringkali memicu kontroversi, namun dampaknya terhadap wajah Jakarta modern tak terbantahkan.

Dari Lautan ke Kursi Gubernur

Lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 7 Juli 1927, Ali Sadikin awalnya bercita-cita menjadi pelaut. Ia sempat mengenyam pendidikan di sekolah tinggi pelayaran di era pendudukan Jepang. Namun, panggilan kemerdekaan membawanya bergabung dengan BKR Laut, cikal bakal TNI AL. Ia turut berjuang melawan agresi Belanda dan menumpas pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Pengalaman militer inilah yang menempa jiwa kepemimpinannya yang kuat dan berani.

Pada 28 April 1966, Presiden Soekarno melantik Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia langsung menggebrak birokrasi yang lamban dan tidak efisien. Puluhan ribu pegawai Kota Praja didisiplinkan demi meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hasilnya, tingkat kriminalitas berhasil ditekan berkat operasi penggerebekan yang tegas.

Kebijakan Kontroversial yang Membuahkan Hasil

Salah satu kebijakan Ali Sadikin yang paling kontroversial adalah melegalkan perjudian sebagai sumber pendapatan daerah. Keputusan ini memicu perdebatan sengit, namun di sisi lain, berhasil meningkatkan pendapatan Pemda DKI secara signifikan. Dana dari perjudian tersebut kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum yang sangat dibutuhkan warga Jakarta, seperti sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan perbaikan jalan.

Di bawah kepemimpinan Ali Sadikin, Jakarta mengalami perubahan fisik yang drastis. Ia melakukan renovasi Taman Monas, membangun Taman Ismail Marzuki sebagai pusat kesenian, Gedung Arsip Nasional, Gelanggang Remaja Kuningan, Pasar Seni Ancol, Sekolah Atlet Ragunan, Planet Senen, hingga lokalisasi Kramat Tunggal. Proyek-proyek ini mengubah wajah Jakarta menjadi kota metropolitan yang lebih modern dan berbudaya.

Pada akhir masa jabatannya tahun 1977, Pemda DKI memiliki saldo kas yang sangat besar, mencapai 17 miliar rupiah. Ini adalah bukti nyata keberhasilan Ali Sadikin dalam mengelola keuangan daerah.

Warisan dan Pengakuan

Ali Sadikin telah meletakkan fondasi bagi Jakarta modern. Ia diakui secara internasional dengan menerima Anugerah Ramon Magsaysay pada tahun 1971. Namun, setelah pensiun, keterlibatannya dalam Petisi 50 menyebabkan hak-hak politiknya dibungkam oleh rezim Orde Baru.

Meskipun kontroversial, jasa-jasa Ali Sadikin bagi Jakarta tidak bisa dilupakan. Ia adalah sosok pemimpin yang berani mengambil risiko demi kemajuan kota. Warisannya terus hidup dalam pembangunan Jakarta hingga saat ini.



Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment