Indonesia, negara kepulauan yang terletak di Cincin Api Pasifik, secara alami rentan terhadap bencana alam, termasuk gempa bumi dan tsunami. Salah satu ancaman terbesar yang membayangi adalah gempa megathrust, fenomena seismik dahsyat yang dapat memicu tsunami setinggi puluhan meter. Sebuah dokumenter berjudul "The Silent Threat" menyoroti secara mendalam ancaman ini, khususnya di pesisir selatan Lebak, Banten, dan bagaimana masyarakat serta pihak terkait berupaya melakukan mitigasi.
Pesisir Lebak: Berada di Garis Depan Ancaman Megathrust
Enam kecamatan dan 21 desa di pesisir selatan Lebak diidentifikasi sebagai zona rawan tsunami. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan memperingatkan bahwa gempa megathrust hanyalah "tinggal tunggu waktu" untuk mengguncang Indonesia. Megathrust sendiri adalah zona pertemuan dua lempeng samudra dan benua yang sangat rawan gempa, terletak di antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia di Indonesia.
Jika gempa megathrust terjadi di selatan Banten atau Lebak, kekuatannya diperkirakan bisa mencapai magnitudo 8,7 dengan intensitas guncangan 8-9 MMI. Ini berpotensi menyebabkan kerusakan parah pada rumah dan infrastruktur, serta memicu tsunami dengan ketinggian mencapai 20 meter. Desa Siturgen, misalnya, berada di garis depan ancaman ini karena letaknya yang berhadapan langsung dengan zona megathrust. Meskipun BMKG tidak dapat memprediksi kapan tepatnya megathrust akan terjadi, pemetaan lokasi dan potensi kekuatannya telah dilakukan.
Kepanikan dan Kebutuhan Literasi Bencana
Ketika isu potensi megathrust mencuat, masyarakat Lebak Selatan, khususnya di Desa Siturgen, dilanda kepanikan. Banyak orang tua melarang anak-anaknya pergi ke sekolah yang berdekatan dengan pantai, dan bahkan ada yang mengungsi sebelum tsunami terjadi, yang justru menimbulkan insiden seperti gigitan ular atau kecelakaan motor. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada informasi, literasi kebencanaan masyarakat masih perlu ditingkatkan agar tidak berujung pada kepanikan yang tidak perlu.
Inisiatif Mitigasi dan Kesiapsiagaan dari Berbagai Pihak
Meskipun ancaman itu nyata, berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan telah dilakukan:
- Gugus Mitigasi Lebak Selatan (GMLS): Kelompok masyarakat ini telah merintis kegiatan mitigasi gempa bumi dan tsunami sejak tahun 2017.
- Desa Tangguh Bencana (Destana): Dibentuk oleh pemerintah, Destana bertugas menyosialisasikan mitigasi kebencanaan kepada masyarakat, mulai dari tingkat SD hingga umum. Destana Siturgen bahkan memiliki inisiatif untuk melanjutkan kegiatan mitigasi secara mandiri meskipun anggaran pemerintah terbatas.
- Standar Siaga Tsunami BMKG: Terdapat 12 indikator yang harus dipenuhi agar suatu wilayah diakui sebagai siaga tsunami, meliputi akses ke peta bahaya tsunami, infrastruktur peringatan dini, dan kemampuan menyebarluaskan peringatan.
- Peringatan Dini Alami dan Teknologi: BMKG fokus pada gempa sebagai pemicu tsunami, namun tanda-tanda alam sebelum gempa besar, seperti aktivitas tidak lazim hewan, juga bisa diamati.
- Langkah-langkah Mitigasi di Siturgen: Desa Siturgen telah melakukan berbagai upaya, termasuk penanaman pohon mangrove, ketapang, dan cemara laut sebagai pertahanan alami. Mereka juga memiliki sirine peringatan dini mandiri yang didanai komunitas GMLS, pembukaan jalur evakuasi, program evakuasi mandiri "Keluarga Tangguh Bencana," hingga simulasi evakuasi berskala besar.
- Peran Ekosistem Pesisir: Terumbu karang, lamun, dan mangrove berperan penting sebagai garis pertahanan alami untuk meredam dampak tsunami dan melindungi pantai dari abrasi.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun inisiatif mitigasi telah berjalan, tantangan masih besar. Dokumenter ini menyoroti bahwa tingkat kesiapan masyarakat menghadapi potensi bencana masih rendah. Kegiatan pengurangan risiko bencana seringkali kurang populer dibandingkan bantuan pasca-bencana, dan masyarakat cenderung abai terhadap informasi sebelum media mempublikasikan potensi megathrust.
Dukungan pemerintah daerah yang minim dalam mitigasi, terutama setelah program selesai dan anggaran terbatas, menjadi hambatan serius. Indonesia memiliki ribuan desa rawan tsunami, namun tidak semua memiliki infrastruktur peringatan dini yang andal.
Harapan terbesar masyarakat adalah adanya peringatan dini yang jelas dan akurat dari pemerintah, penambahan sirine, dan dukungan anggaran berkelanjutan untuk program mitigasi di desa. Keterlibatan serius pemerintah daerah di semua lini penanggulangan bencana, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan umum, sangat krusial.
Pada akhirnya, masyarakat di pesisir Lebak hidup di bawah bayang-bayang risiko. Meskipun ada berbagai persiapan dan tekad untuk waspada, pertanyaan besar tetap ada: apakah itu cukup untuk menghadapi ancaman megathrust yang tak terhindarkan? Hanya dengan kolaborasi kuat antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak, kesiapsiagaan kita akan semakin kuat.
0 komentar :
Post a Comment