Diskusi mendalam tentang tantangan riset dan pendidikan tinggi di Indonesia yang diungkap oleh Bagus Mulyadi dalam "Akbar Faizal Uncensored" memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang ada. Namun, untuk benar-benar mengatasi persoalan ini, kita perlu melihatnya dari perspektif kepemimpinan visioner dan reformasi sistemik yang bergerak dari hulu ke hilir. Ini bukan hanya tentang memperbaiki bagian-bagian yang rusak, melainkan merancang ulang arsitektur besar yang memungkinkan riset dan pendidikan tinggi menjadi pilar utama pembangunan nasional.
Mengubah Paradigma: Riset sebagai Investasi Strategis Nasional
Salah satu poin paling krusial yang perlu diubah adalah persepsi bahwa riset adalah beban atau biaya, menjadi investasi strategis nasional. Saat ini, Bagus Mulyadi menyoroti bahwa riset "tidak memiliki konstituensi yang kuat" dan anggarannya rentan dipangkas. Ini mencerminkan kurangnya pemahaman di tingkat tertinggi bahwa riset adalah mesin inovasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Kepemimpinan harus datang dari puncak, baik itu di tingkat eksekutif negara, legislatif, maupun di tataran kementerian terkait. Perlu ada cetak biru riset nasional jangka panjang yang jelas, didukung oleh alokasi anggaran yang konsisten dan meningkat, bahkan di tengah gejolak ekonomi. Ini bukan sekadar janji politik, melainkan komitmen yang terinstitusionalisasi.
Visi ini harus diterjemahkan dalam kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam riset dan pengembangan (R&D) di perguruan tinggi. Insentif ini bisa berupa potongan pajak yang signifikan, dana padanan (matching funds) dari pemerintah, atau kemudahan regulasi. Dengan demikian, industri tidak hanya menjadi pengguna hasil riset, tetapi juga mitra aktif dalam mendefinisikan arah riset. Ini akan secara otomatis menciptakan "konstituen" baru bagi riset dari kalangan industri yang merasakan langsung manfaatnya.
Dekolonisasi Birokrasi: Membangun Sistem yang Mendukung, Bukan Menghambat
Bagus Mulyadi dengan tepat mengemukakan bahwa birokrasi Indonesia masih terbelenggu oleh "otoritarianisme kolonial" yang menghambat inovasi. Ini adalah panggilan untuk dekolonisasi birokrasi riset. Artinya, kita harus membongkar sistem yang kaku, rumit, dan tidak efisien yang memperlakukan riset seperti "pengadaan barang."
Kepemimpinan di Kementerian terkait harus berani melakukan deregulasi besar-besaran dalam proses administrasi riset. Ini mencakup penyederhanaan prosedur proposal, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan. Fokus harus beralih dari kepatuhan administratif yang berlebihan menuju akuntabilitas berbasis dampak dan outcome. Perlu ada standar yang jelas mengenai dampak riset yang diharapkan, dan pelaporan harus berorientasi pada pencapaian indikator tersebut, bukan hanya pada rincian kuitansi.
Inovasi teknologi harus dimanfaatkan secara maksimal. Sebuah platform digital terintegrasi yang transparan dan mudah digunakan untuk manajemen riset dari hulu ke hilir (mulai dari pengajuan proposal, peer review, pelacakan progres, hingga pelaporan akhir) adalah keharusan. Ini tidak hanya akan mengurangi beban administratif peneliti tetapi juga meningkatkan efisiensi dan transparansi.
Selain itu, perlu ada pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi para administrator riset di universitas dan lembaga riset. Mereka harus memahami sifat unik dari kegiatan riset agar dapat memberikan dukungan yang efektif, bukan menjadi penghalang. Mengubah mentalitas birokrasi dari "pengawas" menjadi "fasilitator" adalah kunci.
Reformasi Sistem Insentif: Dari Kuantitas ke Kualitas dan Relevansi
Poin Bagus Mulyadi mengenai insentif yang salah – yang mengutamakan kuantitas publikasi ketimbang kualitas dan dampak – adalah akar masalah yang merusak ekosistem riset. Untuk mengubah ini, kepemimpinan di perguruan tinggi dan lembaga riset harus berani mereformasi sistem promosi dan penghargaan.
Sistem penilaian kinerja dosen dan peneliti harus diperbarui untuk memberikan bobot signifikan pada:
- Patem, lisensi, dan prototipe yang dihasilkan.
- Kolaborasi industri yang menghasilkan produk atau layanan baru.
- Pengembangan kebijakan publik berbasis bukti.
- Inovasi sosial yang memecahkan masalah masyarakat.
- Kualitas dan sitasi dari publikasi di jurnal bereputasi tinggi (Q1), bukan hanya jumlahnya.
Penting juga untuk memberikan insentif bagi kolaborasi interdisipliner. Dana riset harus dialokasikan secara khusus untuk proyek-proyek yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Kepemimpinan universitas harus mendorong pembentukan pusat-pusat penelitian atau kelompok studi yang melintasi batas-batas fakultas dan departemen.
Selain itu, ada kebutuhan mendesak untuk membentuk tim pendukung riset profesional di universitas. Tim ini termasuk manajer proyek riset, staf administrasi riset, spesialis transfer teknologi, dan pakar kekayaan intelektual. Keberadaan tim ini akan membebaskan peneliti dari beban non-ilmiah dan memungkinkan mereka berfokus pada pekerjaan inti mereka.
Mengintegrasikan Riset dengan Pembangunan Nasional: Peran Ekosistem Inovasi
Ketidaksesuaian antara riset di perguruan tinggi dengan riset di industri adalah bukti fragmentasi ekosistem inovasi kita. Kepemimpinan nasional harus secara proaktif membangun jembatan dan mengintegrasikan ekosistem inovasi secara menyeluruh.
Ini berarti:
- Menciptakan Science and Technology Parks (STP) atau Innovation Hubs yang menjadi jembatan fisik antara universitas, start-up, dan industri. STP ini harus dilengkapi dengan fasilitas bersama, inkubator bisnis, dan layanan pendukung transfer teknologi.
- Mendorong program magang dan pertukaran antara mahasiswa/peneliti dan industri. Ini akan memberikan pengalaman praktis bagi mahasiswa dan memungkinkan industri mengakses talenta riset terbaru.
- Membangun mekanisme pendanaan yang fleksibel seperti venture capital atau dana hibah inovasi yang spesifik untuk komersialisasi hasil riset.
- Memperkuat peran lembaga riset pemerintah seperti BRIN untuk menjadi katalisator kolaborasi, memfasilitasi riset fundamental dan terapan yang dapat dikembangkan oleh sektor swasta.
Melalui integrasi ini, riset tidak lagi menjadi menara gading yang terpisah, melainkan bagian integral dari rantai nilai ekonomi, memastikan bahwa lulusan S3 memiliki jalur karier yang jelas dan relevan.
Mendidik dan Memberdayakan Publik: Riset sebagai Basis Kebijakan dan Kepercayaan
Kurangnya kesadaran publik akan pentingnya riset adalah cerminan dari kegagalan komunikasi di tingkat yang lebih tinggi. Kepemimpinan pemerintah dan universitas harus secara aktif mempopulerkan ilmu pengetahuan dan hasil riset kepada masyarakat luas. Ini bukan hanya tugas peneliti individu, tetapi bagian dari strategi komunikasi nasional.
Penting untuk:
- Mengembangkan public engagement strategies untuk peneliti, mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam diskusi publik, menulis artikel populer, dan menggunakan media sosial.
- Melibatkan ilmuwan dalam perumusan kebijakan publik. Ketika masyarakat melihat bahwa kebijakan pemerintah didasarkan pada bukti ilmiah dan masukan dari akademisi, kepercayaan terhadap institusi ilmiah akan meningkat. Contoh saat pandemi menunjukkan betapa krusialnya peran ilmuwan dalam memberikan panduan yang jelas dan berdasarkan data.
- Memperkuat peran universitas sebagai thought leader dan sumber informasi terpercaya, terutama di tengah maraknya disinformasi. Ini membutuhkan keberanian dari kepemimpinan universitas untuk secara terbuka mengemukakan kebenaran ilmiah, bahkan jika itu tidak populer atau bertentangan dengan narasi yang ada.
Membangun Budaya Keilmuan yang Kokoh: Harmoni dengan Kebenaran
Tantangan budaya, khususnya kecenderungan mengutamakan "harmoni sosial di atas kebenaran," adalah ujian terbesar. Ini menuntut kepemimpinan yang berani menegakkan prinsip-prinsip integritas ilmiah dan kebebasan akademik.
- Universitas harus menjadi benteng kebebasan berpikir dan berpendapat, di mana perdebatan intelektual yang sehat didorong dan dihargai, bahkan jika itu menantang status quo.
- Sistem kenaikan pangkat dosen yang bergantung pada pusat harus diubah agar menciptakan insentif bagi akademisi untuk bersuara kritis dan independen, tanpa takut dampak negatif terhadap karier mereka. Otonomi universitas dalam hal ini adalah kunci.
- Pendidikan di semua jenjang harus menanamkan pentingnya berpikir kritis, skeptisisme yang konstruktif, dan pencarian kebenaran berbasis bukti. Ini harus menjadi bagian integral dari kurikulum nasional.
Mengatasi inkompetensi adalah tugas moral dan strategis. Kepemimpinan pendidikan tinggi harus memastikan bahwa standar akademik dijaga ketat, dan bahwa pendidikan yang diberikan relevan dengan kebutuhan dunia nyata. Penulisan ulang sejarah juga harus dipegang teguh pada prinsip-prinsip historiografi yang kuat, dengan akuntabilitas dan transparansi, bukan menjadi alat politik.
Langkah ke Depan: Sebuah Agenda Transformasi
Menuju masa depan yang lebih cerah bagi riset dan pendidikan tinggi di Indonesia, diperlukan sebuah agenda transformasi yang komprehensif yang melibatkan setiap level kepemimpinan. Ini bukan hanya tentang dana atau fasilitas, tetapi tentang perubahan pola pikir dan sistem yang mendasar.
- Kepemimpinan Nasional: Mengangkat riset sebagai prioritas strategis, didukung oleh cetak biru dan anggaran yang konsisten.
- Reformasi Regulasi: Merampingkan birokrasi, beralih ke akuntabilitas berbasis dampak, dan memanfaatkan teknologi.
- Insentif yang Tepat: Menghargai kualitas, dampak, dan kolaborasi, bukan hanya kuantitas.
- Integrasi Ekosistem: Membangun jembatan kuat antara universitas, industri, dan pemerintah.
- Komunikasi Efektif: Mempopulerkan ilmu pengetahuan dan membangun kepercayaan publik.
- Transformasi Budaya: Menegakkan kebebasan akademik, integritas ilmiah, dan budaya pencarian kebenaran.
Dengan kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas, Indonesia dapat mengubah tantangan menjadi peluang, mengaktifkan potensi riset dan pendidikan tingginya untuk mendorong pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berdaya saing global. Ini adalah panggilan untuk bertindak, bukan hanya sekadar berdiskusi.
0 komentar :
Post a Comment