Membedah Akar Masalah Riset dan Pendidikan Tinggi di Indonesia: Sebuah Perspektif Kritis



Riset dan pendidikan tinggi adalah tulang punggung kemajuan suatu bangsa. Namun, di Indonesia, sektor vital ini menghadapi berbagai tantangan kompleks yang menghambat potensinya. Dalam diskusi mendalam bersama Bagus Mulyadi, seorang asisten profesor dari Nottingham University dalam podcast "Akbar Faizal Uncensored," kita diajak menyelami akar masalah ini dari berbagai sudut pandang. Artikel ini akan membahas poin-poin krusial yang diangkat, mulai dari kurangnya konstituensi riset, birokrasi yang membelenggu, hingga ketidakterhubungan riset dengan kebutuhan industri dan masyarakat.

Ketika Riset Tak Punya Konstituen: Sebuah Problem Fundamental

Salah satu poin paling mencolok yang diungkap Bagus Mulyadi adalah kurangnya konstituensi riset di Indonesia. Apa artinya ini? Ketika anggaran riset dipangkas, tidak banyak pihak yang protes atau bersuara keras. Ini mengindikasikan bahwa riset belum dianggap sebagai prioritas nasional yang mendesak, baik oleh publik maupun pembuat kebijakan. Bandingkan dengan sektor lain yang memiliki kelompok pendukung kuat, seperti infrastruktur atau subsidi. Pemotongan anggaran di sana akan memicu reaksi keras, namun tidak demikian dengan riset.

Dampak dari kondisi ini sangat nyata. Tanpa dukungan dan kesadaran publik yang kuat, riset menjadi sektor yang rentan terhadap fluktuasi kebijakan dan prioritas jangka pendek. Kurangnya pengakuan ini juga tercermin dari kontribusi ilmu pengetahuan Indonesia di mata dunia yang masih bersifat periferal. Kita jarang melihat jurnal-jurnal dari Indonesia menduduki peringkat Q1 (jurnal bereputasi tinggi) secara signifikan. Ini bukan hanya masalah angka, tetapi juga indikasi bahwa riset kita belum mampu bersaing di kancah global.


Belenggu Birokrasi dan Otoritarianisme Kolonial: Sebuah Warisan yang Menghambat

Bagus Mulyadi menyoroti bahwa Indonesia masih terbelenggu oleh birokrasi otoritarian ala kolonial yang secara langsung mempengaruhi riset dan inovasi. Sistem yang rumit dan linearitas birokrasi pertanggungjawaban riset seringkali menjadi penghalang bagi para peneliti. Bayangkan seorang peneliti yang harus berurusan dengan tumpukan dokumen, kuitansi, dan prosedur yang berbelit-belit hanya untuk mempertanggungjawabkan dana riset. Ini bukan hanya menghabiskan waktu dan energi, tetapi juga mematikan semangat inovasi.

Sistem pengauditan riset di Indonesia, menurut Bagus, memperlakukan riset layaknya pengadaan barang. Proses yang sangat ketat dan seringkali tidak relevan dengan sifat dinamis riset, membuat peneliti frustasi. Alih-alih fokus pada substansi dan dampak penelitian, mereka terpaksa berkutat dengan administrasi. Kondisi ini berkontribusi pada kurangnya pengakuan Indonesia sebagai pusat ilmu pengetahuan global, dan secara tidak langsung, menyebabkan hilangnya warisan riset Indonesia karena peneliti kesulitan mendokumentasikan atau melanjutkan penelitian sebelumnya akibat kompleksitas sistem.


Kualitas, Dampak, dan Insentif yang Salah Kaprah

Masalah lain yang tak kalah krusial adalah fokus pada kuantitas daripada kualitas dan dampak riset. Sistem insentif yang ada saat ini seringkali mendorong periset untuk menghasilkan publikasi sebanyak mungkin, tanpa mempertimbangkan relevansi atau dampak nyata penelitian tersebut. Ini terlihat dari kecenderungan periset untuk menerbitkan di jurnal-jurnal yang kurang bereputasi hanya demi memenuhi target angka. Akibatnya, penelitian di Indonesia belum berfokus pada dampak signifikan bagi masyarakat atau industri.

Lebih lanjut, sistem riset di Indonesia tidak memberikan insentif bagi periset untuk berpikir di luar bidangnya. Ada kecenderungan untuk tetap berada dalam "kotak" spesialisasi demi kenaikan pangkat. Ini menghambat kolaborasi interdisipliner yang sangat penting untuk memecahkan masalah-masalah kompleks di dunia nyata. Padahal, inovasi seringkali lahir dari pertemuan ide-ide lintas disiplin.


Kesenjangan antara Riset Akademik dan Kebutuhan Industri

Salah satu kegagalan terbesar dalam ekosistem riset di Indonesia adalah ketidaksesuaian antara riset di perguruan tinggi dengan riset di industri. Banyak penelitian yang dihasilkan di kampus tidak relevan dengan kebutuhan pasar atau industri. Ini sebagian besar disebabkan oleh minimnya insentif dan kebutuhan dari pasar itu sendiri untuk berkolaborasi dengan institusi akademik.

Dampak dari kesenjangan ini sangat nyata: banyak lulusan S3 kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka. Mereka memiliki pengetahuan mendalam, namun pasar tidak siap menyerap keahlian tersebut karena riset yang mereka lakukan tidak memiliki aplikasi langsung di dunia industri. Ini adalah kerugian besar bagi potensi sumber daya manusia dan investasi pendidikan.




Kurangnya Kesadaran Publik dan Peran Peneliti dalam Masyarakat

Masyarakat Indonesia, termasuk pemerintah daerah dan provinsi, belum sepenuhnya menyadari bahwa riset adalah jenjang awal menuju masa depan yang gemilang. Riset belum menjadi "mata uang politik" dalam pemilihan kepala daerah. Isu-isu riset dan inovasi jarang diangkat dalam kampanye politik, menunjukkan bahwa masyarakat belum menganggapnya sebagai penentu kemajuan wilayah.

Selain itu, peneliti tidak diberikan insentif untuk mempopulerkan riset di masyarakat. Akibatnya, terjadi kurangnya kepercayaan publik terhadap institusi ilmiah. Ini terlihat jelas saat pandemi, di mana masyarakat lebih mencari jawaban dari dukun atau pemuka agama daripada universitas dan pakar ilmiah. Ini adalah cerminan dari kegagalan komunikasi antara komunitas ilmiah dan masyarakat luas.


Belajar dari Negara Lain: Mengapa Mereka Lebih Unggul?

Bagus Mulyadi membandingkan Indonesia dengan negara-negara postkolonial lain seperti Singapura, Vietnam, dan Korea Selatan. Negara-negara ini memiliki trajektori pertumbuhan yang berbeda dari Indonesia karena keikutsertaan riset dalam sistem produksi dan total faktor produktivitas yang lebih tinggi. Ini berarti riset di negara-negara tersebut tidak hanya berhenti di jurnal ilmiah, tetapi terintegrasi langsung dalam proses produksi barang dan jasa, sehingga memberikan dampak ekonomi yang nyata. Ini menunjukkan bahwa investasi dalam riset yang terarah dan terintegrasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan.


Solusi dan Tantangan ke Depan: Desentralisasi dan Kebenaran

Melihat berbagai masalah yang ada, Bagus Mulyadi mengusulkan desentralisasi sistem pendidikan dan riset di Indonesia. Memberikan otonomi kepada daerah untuk melakukan riset mereka sendiri dapat mendorong inovasi yang lebih relevan dengan kebutuhan lokal. Desentralisasi juga dapat memutus rantai birokrasi yang panjang dan memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam pengelolaan dana riset.

Namun, ada tantangan lain yang harus dihadapi, yaitu hubungan ilmu dan kekuasaan. Masyarakat kampus di Indonesia cenderung bernegosiasi dengan tawaran kekuasaan, menjaga jarak dengan realitas dan civil society. Sistem kenaikan pangkat dosen yang bergantung pada pusat menciptakan konflik kepentingan dan kurangnya insentif untuk bersuara kritis. Ini adalah masalah struktural yang perlu diatasi untuk memastikan independensi akademik.

Diskusi juga menyinggung tentang penulisan ulang sejarah di Indonesia yang berisiko karena tidak ada aturan main yang jelas, kurangnya akuntabilitas, inklusivitas, dan transparansi. Hal ini dapat berpotensi menjadi alat untuk membungkam permasalahan dan memanipulasi narasi. Ini menggarisbawahi pentingnya integritas ilmiah dan historiografi yang berdasarkan bukti.

Poin terakhir yang sangat penting adalah tentang pentingnya kebenaran dan skeptisisme. Budaya Indonesia yang mengutamakan harmoni sosial di atas kebenaran seringkali berbeda dengan negara-negara yang menjunjung tinggi kebenaran individu. Bagus berpendapat bahwa universitas di Indonesia belum mengajari masyarakat akan pentingnya kebenaran, bahkan cenderung menganggap kebodohan yang dipertahankan sebagai sebuah hasil dan korban, bukan sebagai masalah yang harus diatasi. Padahal, inkompetensi dapat membunuh lebih banyak orang daripada kejahatan sekaligus, seperti yang ia kemukakan. Ini adalah tantangan budaya yang mendalam dan memerlukan perubahan pola pikir yang signifikan.


Menuju Masa Depan Riset dan Pendidikan Tinggi yang Lebih Baik

Rangkuman diskusi ini memberikan gambaran yang jelas tentang kompleksitas masalah yang dihadapi sektor riset dan pendidikan tinggi di Indonesia. Dari kurangnya kesadaran publik hingga belenggu birokrasi dan insentif yang salah, semua saling terkait dan memperparah kondisi.

Untuk mewujudkan masa depan riset dan pendidikan tinggi yang lebih baik, diperlukan reformasi sistemik yang berani. Ini termasuk:

  1. Meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya riset sebagai investasi masa depan.
  2. Merampingkan birokrasi dan mengubah sistem akuntabilitas riset agar lebih mendukung inovasi.
  3. Mendesain ulang sistem insentif agar lebih fokus pada kualitas, dampak, dan kolaborasi interdisipliner.
  4. Membangun jembatan kuat antara riset akademik dan kebutuhan industri.
  5. Meningkatkan peran peneliti dalam mengedukasi dan berinteraksi dengan masyarakat.
  6. Mendorong desentralisasi pengelolaan riset dan pendidikan tinggi.
  7. Menumbuhkan budaya yang menghargai kebenaran, skeptisisme, dan integritas ilmiah.

Perjalanan untuk mencapai perubahan ini tentu tidak mudah, namun sangat esensial demi kemajuan bangsa. Apakah kita sebagai masyarakat dan pembuat kebijakan siap untuk menghadapi tantangan ini dan berinvestasi lebih serius pada masa depan riset dan pendidikan tinggi Indonesia?



Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment