Sejarah Kelam Rupiah: Menguak Alasan di Balik Banyaknya Angka Nol



Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa mata uang Rupiah memiliki begitu banyak angka nol? Di balik deretan angka tersebut, tersimpan sejarah kelam kegagalan ekonomi Indonesia yang jarang diceritakan. Video "Kenapa Rupiah Nolnya Banyak? (Dan Sejarah Kelam Dibaliknya)" dari Josh Gultom mengungkap secara gamblang bagaimana inflasi dan kebijakan moneter yang salah di masa lalu telah membentuk nilai mata uang kita saat ini.

Tiga Kali Pukulan Ekonomi yang Mengguncang Rupiah

Indonesia tercatat pernah mengalami tiga kali kegagalan ekonomi parah yang berdampak langsung pada nilai Rupiah: pada tahun 1950, 1959, dan 1965. Setiap kali, kebijakan drastis harus diambil, namun dengan konsekuensi yang menyakitkan bagi rakyat.

1. "Gunting Syafruddin" Tahun 1950: Trauma Guntingan Uang

Pada 1950, pemerintah memberlakukan kebijakan ekstrem yang dikenal sebagai "Gunting Syafruddin". Masyarakat diwajibkan menggunting fisik uang kertas pecahan di atas Rp5. Potongan sebelah kiri dapat digunakan untuk belanja dengan nilai separuhnya, sementara potongan kanan secara otomatis menjadi pinjaman paksa kepada negara dalam bentuk surat utang yang baru bisa dicairkan 40 tahun kemudian. Kebijakan ini tidak hanya menyebabkan kerugian finansial besar bagi masyarakat, tetapi juga mengikis kepercayaan mereka terhadap Rupiah.

2. Sanering 1959: Pembekuan Simpanan dan Pemotongan Nilai

Sembilan tahun berselang, pada 1959, pemerintah kembali melakukan tindakan drastis melalui sanering. Kali ini, nilai nominal uang langsung dipotong secara resmi dan mendadak. Uang pecahan Rp1.000 menjadi Rp100, dan Rp500 menjadi Rp50. Lebih parah lagi, simpanan masyarakat di bank di atas Rp25.000 dibekukan dan dianggap sebagai pinjaman jangka panjang kepada negara yang baru cair 45 tahun kemudian. Kebijakan ini benar-benar menghancurkan daya beli masyarakat dan melumpuhkan sistem perbankan.

3. Redenominasi/Sanering 1965: Kehancuran Daya Beli Akibat Inflasi Brutal

Puncak kegagalan terjadi pada 1965. Akibat inflasi yang sangat brutal, pemerintah kembali memangkas angka nol dengan mengubah Rp1.000 menjadi Rp1. Meskipun disebut sebagai redenominasi untuk menyederhanakan sistem moneter, pada kenyataannya ini adalah sanering masif karena masyarakat kehilangan nilai kekayaan mereka secara drastis. Harga barang tidak ikut turun sebanding, sehingga daya beli masyarakat kembali hancur lebur.

Krisis Moneter 1997-1998 dan Munculnya Pecahan Rp100.000

Meskipun bukan karena pemangkasan nol, Krisis Moneter 1997-1998 juga memberikan pukulan telak bagi Rupiah. Nilai tukar Rupiah anjlok dari Rp2.400 per dolar menjadi Rp16.000 per dolar. Untuk menyelamatkan sistem, pemerintah mencetak uang dan menaikkan suku bunga. Imbasnya, untuk pertama kalinya, pecahan Rp100.000 muncul pada tahun 1999, sebuah indikasi bahwa nilai uang semakin tidak berharga.



Trauma Redenominasi dan Kondisi Ekonomi Masa Kini

Sejak 1965, pemerintah tidak lagi berani memotong nol pada Rupiah. Masyarakat telanjur trauma dan menganggap redenominasi sebagai sanering terselubung. Wacana redenominasi yang beberapa kali muncul selalu ditolak mentah-mentah oleh publik.

Meskipun ekonomi Indonesia saat ini terlihat tumbuh, utang publik dan inflasi mulai menunjukkan peningkatan, mirip dengan tanda-tanda kerapuhan di masa lalu. Ada risiko bahwa redenominasi di masa depan bisa berdampak buruk jika implementasinya tidak sesuai harapan. Bahkan, munculnya pecahan Rp500.000 dan Rp1.000.000 bisa menjadi opsi realistis jika nilai Rupiah terus tergerus.

Bayangkan, jika ketiga sanering di masa lalu tidak pernah terjadi, nilai Rp100.000 saat ini diperkirakan akan setara dengan 2 miliar Rupiah dan harga sebungkus rokok bisa mencapai ratusan juta Rupiah, mirip dengan kondisi mata uang Zimbabwe.

Memahami sejarah kelam mata uang kita adalah penting. Edukasi ini diharapkan dapat membuat masyarakat lebih sadar dan siap menghadapi potensi kejadian serupa di masa depan, serta menghargai setiap lembar Rupiah yang kita miliki.



Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment