Dalam catatan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, terdapat nama-nama besar yang selalu dikenang. Namun, di antara para pahlawan tersebut, ada satu sosok revolusioner yang namanya sering kali kurang mendapatkan sorotan yang selayaknya: Tan Malaka. Lahir dengan nama Ibrahim pada tanggal 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Sumatera Barat, ia kemudian dikenal dengan gelar kebangsawanannya, Datuk Sultan Malaka. Kisahnya adalah perpaduan antara intelektualitas yang mendalam, semangat revolusioner yang membara, dan petualangan lintas benua yang penuh intrik.
Masa kecil Tan Malaka diwarnai oleh pendidikan agama yang kuat. Dibesarkan dalam keluarga yang taat, ia tidak hanya hafal Al-Qur'an sejak usia dini tetapi juga fasih berbahasa Arab. Pendidikan formalnya dimulai pada usia 11 tahun di Kweek School (sekolah calon guru) di Fort de Kock (kini Bukittinggi). Di sana, ia menunjukkan ketertarikan yang besar pada bahasa Belanda dan dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Lulus pada tahun 1913, ia meraih gelar Datuk, namun memilih untuk melanjutkan pendidikan, menolak tawaran pertunangan yang lazim pada masa itu.
Berkat dukungan gurunya, G. Horensma, dan masyarakat kampungnya, pada usia 17 tahun Tan Malaka melangkah menuju Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda. Di Eropa, ia tidak hanya memperdalam ilmu filsafat, ekonomi, dan sosial, tetapi juga menyaksikan secara langsung dampak Revolusi Industri yang menciptakan jurang ketidakadilan sosial. Pengalaman ini, ditambah dengan kondisi kesehatannya yang menurun akibat iklim Eropa, mulai membentuk pandangan dunianya.
Perkenalannya dengan ideologi sosialisme dan komunisme menjadi titik balik penting dalam hidup Tan Malaka. Ia terinspirasi oleh gagasan keadilan bagi kaum tertindas, terutama setelah menyaksikan keberhasilan Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Di Belanda, ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Henk Sneevliet, seorang tokoh komunis Belanda yang baru kembali dari Hindia Belanda dan mendirikan Indische Sociale Democratische Vereeniging (ISDV).
Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1919, Tan Malaka menerima tawaran untuk menjadi guru di sekolah perkebunan Senembah di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Timur. Di sinilah ia menyaksikan langsung penderitaan buruh kontrak yang dieksploitasi dengan kejam. Pengalaman ini semakin mengukuhkan keyakinannya untuk memperjuangkan keadilan. Ia kemudian bergabung dengan ISDV, yang kelak bertransformasi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada Februari 1921, Tan Malaka pindah ke Jawa, mengunjungi gurunya di Jakarta dan menghadiri kongres Sarekat Islam di Yogyakarta. Di Semarang, atas ajakan Semaun, ia mendirikan sekolah rakyat yang bertujuan untuk mendidik murid-murid yang akan berjuang bersama rakyat. Ia juga aktif dalam mengorganisir serikat pekerja di berbagai wilayah Jawa. Namun, kolaborasinya dengan Sarekat Islam tidak berjalan mulus akibat perbedaan pandangan politik.
Ketegangan memuncak pada Februari 1922, ketika Tan Malaka memimpin demonstrasi buruh dan pedagang Pegadaian di Bandung. Aksi ini membuatnya ditangkap dan diasingkan ke Belanda pada 13 Februari 1922. Namun, pengasingan tidak mematahkan semangatnya. Di Belanda, ia sempat menjadi kandidat parlemen dari Partai Komunis Belanda.
Pada Juli 1922, ia melanjutkan perjalanannya ke Berlin, Jerman, di mana ia bertemu dengan Darsono yang mengajaknya bergabung dengan Komunis Internasional (Komintern) di Moskow, Uni Soviet. Sebelum ke Moskow, ia sempat berdiskusi dengan Muhammad Hatta di Berlin, bertukar pikiran mengenai arah perjuangan bangsa. Di Kongres Internasional Komintern keempat pada November 1922, Tan Malaka menyampaikan pidatonya yang terkenal tentang pentingnya kerjasama antara Komintern dan negara-negara Islam.
Tahun 1923 menjadi awal petualangan Tan Malaka sebagai agen Komintern di Asia Tenggara. Bermarkas di Kanton, China, ia menjalin kontak dengan berbagai tokoh revolusioner, termasuk Sun Yat-sen. Di kota inilah, pada tahun 1924, ia menulis karya monumentalnya, "Naar de Republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia), yang menjadi tulisan pertama yang secara eksplisit menggunakan frasa Republik Indonesia. Buku ini tidak hanya memuat visi kemerdekaan tetapi juga meramalkan potensi perang di Pasifik antara Jepang dan Amerika Serikat.
Meskipun hidup dalam pengasingan, Tan Malaka terus memantau perkembangan di Nusantara dan menjalin komunikasi dengan para pejuang kemerdekaan. Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI pada tahun 1926-1927 dan melalui risalah "Semangat Muda" dan "Massa Aksi," ia berusaha memberikan pandangan strategis yang berbeda. Sayangnya, pemberontakan tersebut gagal.
Pada Juli 1927, di Bangkok, Thailand, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI), yang memiliki jaringan perwakilan di Indonesia. Melalui PARI dan tulisan-tulisannya, seperti "Manifesto Bangkok," ia terus menganalisis kegagalan pemberontakan PKI dan menawarkan alternatif strategi perjuangan. Dari tahun 1932 hingga 1942, ia menghabiskan waktu di Singapura.
Memanfaatkan momentum pendudukan Jepang, pada tahun 1942 Tan Malaka secara diam-diam kembali ke Indonesia. Ia hidup dalam penyamaran, berpindah-pindah tempat mulai dari Sumatera hingga Jakarta, dengan nama samaran seperti Ramli Hussein dan Elias Husin. Di Jakarta, ia berhasil menyelesaikan magnum opusnya yang lain, "Madilog" (Materialisme, Dialektika, Logika), yang mengkritisi mentalitas bangsa yang dianggapnya masih terjajah dan menyerukan pentingnya berpikir rasional dan ilmiah.
Pada tahun 1943, dengan nama Elias Husin, ia bekerja di pertambangan batu bara di Bayah, Banten. Di sana, ia menyaksikan penderitaan para pekerja romusa dan berusaha memperbaiki kondisi mereka. Di Bayah pula, pada awal tahun 1944, ia bertemu dengan Soekarno dan Hatta, di mana ia sempat berdebat mengenai strategi meraih kemerdekaan.
Menjelang proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1945, Tan Malaka terpilih sebagai perwakilan pemuda Bayah untuk menghadiri perkumpulan pemuda di Jakarta. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh pemuda seperti Chaerul Saleh dan Sukarni, memotivasi mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, bahkan mendorong tindakan penculikan Soekarno dan Hatta agar momentum kemerdekaan tidak hilang.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka berkeliling Jawa untuk mengobarkan semangat rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Ia meyakini bahwa kemerdekaan telah diraih sepenuhnya dan menentang segala bentuk perundingan yang dianggapnya merugikan bangsa. Identitas aslinya akhirnya terungkap, dan ia bertemu secara rahasia dengan Soekarno pada September 1945. Dalam pertemuan itu, terungkap "Testamen Politik" Tan Malaka yang menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan perjuangan jika Soekarno-Hatta tidak lagi berdaya.
Meskipun ditawari posisi dalam pemerintahan oleh Hatta dan Syahrir, Tan Malaka menolak. Ia merasa bahwa perjuangan belum selesai. Pada 1 Januari 1946, bersama Jenderal Sudirman, ia mendirikan Persatuan Perjuangan sebagai respons atas kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah yang memilih jalur perundingan dengan Belanda.
Aktivitas Tan Malaka dianggap sebagai ancaman terhadap upaya perundingan, dan ia ditangkap pada 17 Maret 1946. Setelah dua tahun mendekam di penjara tanpa proses hukum, ia dibebaskan pada 16 September 1948. Namun, semangat perjuangannya tidak padam. Pada 7 November 1948, bersama Sukarni, ia mendirikan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).
Ia terus mengkritik perjanjian Renville yang dianggapnya merugikan Indonesia dan bergabung dengan Jenderal Sudirman dalam perang gerilya melawan agresi militer Belanda. Melalui siaran radio, ia menyerukan perjuangan total. Namun, seruannya ini justru membuatnya dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah Perdana Menteri Muhammad Hatta.
Tragisnya, pada tanggal 19 Februari 1949, Tan Malaka ditembak mati oleh tentara Republik Indonesia di Selopanggung, Jawa Timur. Hingga kini, keberadaan jasadnya masih menjadi misteri. Meskipun akhir hidupnya tragis, perjuangan dan pemikiran Tan Malaka tidak dilupakan. Pada 28 Maret 1963, Presiden Soekarno secara resmi mengangkatnya sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Namun, pada masa Orde Baru, namanya sempat disembunyikan dari catatan sejarah karena keterlibatannya dengan gerakan kiri. Meskipun demikian, karya-karya dan pemikiran Tan Malaka terus dicetak ulang dan didiskusikan, menjadikannya sosok inspiratif bagi banyak kalangan, terutama pemuda.
Kisah hidup Tan Malaka adalah kisah tentang seorang intelektual revolusioner yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kemerdekaan dan keadilan sosial. Pemikirannya yang orisinal dan visinya yang jauh ke depan membuatnya menjadi salah satu tokoh paling penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, meskipun namanya baru mendapatkan pengakuan yang selayaknya belakangan ini. Semangat perjuangannya dan relevansi pemikirannya akan terus menginspirasi generasi-generasi mendatang.
0 komentar :
Post a Comment