Dari Naruto Saya Belajar

Setiap kali saya perhatikan produk-produk hiburan dari negeri sakura Jepang, banyak sekali pesan-pesan positif yang saya tangkap. Dari mulai Dorama, Anime, sampai Manga. Pesan-pesan yang saya tangkap dari produk-produk hiburan tersebut antara lain pantang menyerah, tepat waktu, kerja sama dan kejujuran.

Perkenalan saya dengan produk-produk hiburan tersebut dimulai ketika saya kuliah. Tepatnya ketika menginjak tingkat dua perkuliahan, seorang teman merekomendasikan sebuah serial TV Jepang berjudul 1 Litre of Tears. Film tersebut berhasil membuat saya membuka kamus dan membuat saya menangis untuk pertama kalinya karena menonton film. Saya pun mulai kecanduan dengan Naruto, sebuah manga yang bercerita tentang dunia ninja.
Film kartun ini mencerminkan pentingnya kerjasama dalam tim.
Film kartun ini mencerminkan pentingnya kerjasama dalam tim.
Pernah satu waktu, saya dan teman-teman kuliah beserta seorang dosen larut dalam diskusi tentang manga tersebut. Sang dosen berujar, pelajaran dapat kita ambil darimana saja, walaupun dari film kartun sekalipun. Lihat film Naruto, bagaimana seorang pekerja keras dapat mengalahkan si jenius dalam sebuah pertarungan. Selain itu kita bisa belajar bagaimana kerja sama sesama tim sungguh berperan demi tercapainya sebuah misi.

Apakah produk-produk tadi adalah cerminan dari budaya Jepang?

Seorang teman meng-iya-kan pertanyaan saya tersebut. Katanya sebelum perang dunia pertama, Jepang belum seperti sekarang. Ingat tidak, apa yang dilakukan kaisar Jepang ketika Nagashaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom? Kaisar memerintahkan untuk menyelamatkan guru. Darisanalah doktrin-doktrin baru ditanamkan. Dan generasi produktif yang sekarang adalah produk hasil doktrin tersebut. Doktrin tersebut sudah menjadi budaya, dan Dorama, Manga, Anime adalah hasil dari budaya tersebut.

Terlepas dari valid atau tidaknya cerita teman tadi, tapi cukup masuk akal dari yang diceritakan teman saya. Berarti Jepang butuh minimal 50 tahun untuk membentuk karakter bangsa yang baru. Sebuah perjuangan yang panjang dan bisa dikatakan berhasil.

Bagaimana dengan Indonesia? Bisakah kita meniru langkah Jepang tadi?

Saya optimis bisa. Kita bisa mulai dari guru TK dan SD. Tanamkan kebiasaan-kebiasaan baik pada generasi penerus. Sambil kita memperhatikan tontonan dan bacaan yang beredar. Toh sekarang ada Komisi Penyiaran, kita bisa laporkan ketidakberesan tayangan yang muncul. Seiring dengan menjamurnya televisi-televisi lokal, saya berharap kearifan lokal semakin diangkat sehingga kita lebih mengenal siapa diri kita.

Semoga kita lebih baik.
Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment