Ayahku terkenal paling kaya di desa, namanya Wikarta. Ia punya sawah satu bukit, sejauh mata memandang ke utara tapal batas desa kami, itulah sawah ayah terhampar luas. Sementara ibuku Rusmi, selalu disibukkan dengan kegiatannya di pabrik oncom milik ayah. Keluargaku sangat terkenal di desa, sebagai pemilik pabrik oncom dan juragan sawah tentu saja sangat terpandang.
Waktu itu aku baru lulus dari Sekolah Rakyat, aku sangat senang. Selepas sekolah hari terakhir, kuhabiskan waktu hingga senja bersama teman-temanku. Berlari bertelanjang kaki dan menganyam pelepah daun kelapa menjadi keris. Wati, Eroh, Narsih, dan Beben adalah sahabat-sahabatku. Kami bermain bersama hari itu seperti hari dimana hidup kami akan berakhir. Mengeluarkan canda tawa dan senyum puas.
Aku tak tahu ini jam berapa? Yang jelas suara tongeret jelas terdengar di sawah ayah sebrang rumahku. Dengan pakaian penuh lumpur dan wajah lusuh, aku mengendap-endap masuk ke dalam rumah langsung menuju kamar mandi. Aku mengendap karena takut ketahuan ibu. Jika ia melihatku seperti ini, pastinya ceramah panjang keluar dari mulutnya. Dengan lekas aku mengambil handuk di jemuran belakang rumah dan masuk kamar mandi.
* * *
Selepas sholat maghrib aku keluar menuju dapur, temaram lampu cempor terasa genit menerangi ruangan. Setelah mengambil nasi dan lauk di dapur, aku duduk di kursi jati persegi. Dengan lahap kuhabiskan makan malamku. Malam ini terasa hening, tak seperti biasanya. Tak kulihat ayah, ibu dan saudara-saudaraku di sini.
Setelah mencuci tangan di belakang, aku menuju kamar. Ingin merapihkan mobil pelepah yang kubuat tadi siang. Saat menuju kamar, aku mendengar suara isak tangis dari kamar ibu. Ketika kusibak kain penghalang, kulihat ibu duduk di bibir dipan menunduk. Terdengar jelas ibu sesenggukkan seperti sedang menahan tangis. Aku menghampirinya.
“Ibu kenapa?“, tanyaku sambil mendekat
“Ibu baru beres sholat nak. Kamu sudah sholat?!?“, ibu menjawab sambil menyunggingkan senyum manis di wajahnya. Sembab matanya jelas terlihat pada keduanya.
“Sudah bu..“, jawabku sekenanya sambil berusaha membalas senyum ibu dan berhenti mendekatinya.
“Ya sudah.. kembali ke kamarmu nak.. Nanti lusa kita akan menghadiri acara besar, pasti akan melelahkan..“
“Iya bu..“, jawabku tanpa bertanya acara yang dimaksud ibu.
* * *
Aku masih tidak mengerti acara apa ini. Aku dipaksa memakai pakain tebal, pakaian seperti pejabat-pejabat dari alun-alun. Kulihat orang-orang yang datang begitu sumringah. Aku tak mengerti. Hanya melihat tulisan ‘Wikarta & Yeni‘ di gerbang acara. Dan kulihat ayahku duduk di atas panggung bersama seorang wanita.
* * *
Sekarang aku kelas dua Aliyah. Satu-satunya sekolah lanjutan di kota ini. Dan aku termasuk yang beruntung bisa melanjutkan sekolah di sini. Hari itu hari rabu, mata pelajaran favoritku, sejarah. Aku melihat seorang guru jaga masuk ke dalam kelas, ia memanggil namaku. Aku kemudian dimintanya membereskan perlengkapan dan bergegas keluar, ada Mang Juhe katanya. Ketika sampai di bibir pintu, Mang Juhe langsung memelukku. Terlihat dari wajahnya seperti habis menangis.
“Praja.. Ayo pulang.. Teh Rusmi meninggal tadi pagi..“, Kalimat pertama yang keluar dari mulut Mang Juhe selepas memelukku. Kemudian ia menggamit tanganku untuk bergegas pulang.
* * *
Hari ini hari kelulusanku dari Aliyah. Senang rasanya mendengar cerita-cerita temanku yang akan melanjutkan kuliah di Bandung. Mereka akan mengadu ilmu untuk mendapatkan beasiswa dari Sukarno. Beben sahabatku bersikeras agar aku ikut dengannya ke Bandung. Katanya dengan kemampuanku sekarang, dengan mudah aku akan meraih beasiswa. Dia selalu menyinggungku soal juara umum. Tapi apadaya, ibuku yang sekarang Yeni tak akan mengijinkanku ke Bandung dan tak akan memberiku uang untuk ke sana.
* * *
Usiaku sekarang 21 tahun. Sedari lulus Aliyah, aku menghabiskan hidupku di pasar. Sekedar menjadi kuli panggul, kernet, dan supir angkot pernah kulakoni. Pabrik oncom yang dulu dikelola ibu tidak seperti dulu lagi, aku seperti orang asing di sana. Semua dikelola ibu Yeni sekarang. Suasana di sana tak hangat lagi sekarang, bahkan pekerja-pekerjanya selalu memandang sinis padaku.
Pagi itu aku melihat selebaran berwarna kuning di tembok toko kelontong Koh Awang. Di sana tertulis ‘DIBUTUHKAN SUPIR‘ lengkap dengan persyaratan dan nama perusahaannya. Tiga hari lagi. Kupikir dengan bekal pengalaman supir angkot cukup untuk lolos seleksi. Dan aku memberanikan diri mengikutinya.
* * *
Tiga bulan sudah aku menjadi supir bis jurusan Kuningan-Jakarta. Setiap hari aku berkendara minimal 12 jam. Hari ini aku di Kuningan, aku rindu rumah. Sengaja aku tidak bertandang ke mess. Sesampainya di terminal, aku membeli makanan dan buah-buahan kesukaan adik dan ibu Yeni. Aku langsung bergegas pulang menuju rumah. Saking tak sabarnya, aku tidak makan.
Sesampainya di rumah, adik-adikku memelukku riang. Senang rasanya makanan dan buah yang ku bawa disambut senyum oleh mereka. Ibu Yeni menawariku makan, aku menuju ruang makan bersamanya. Dia menuangkan nasi ke dalam piring dan memberikannya padaku. Kulihat nasi itu kebul menggugah selera. Kucolek ikan goreng mujair di piring sebelah dengan sambal terasi. Masuk pada suapan ke tiga, hidungku mencium bau busuk. Seketika mual. Aku muntah.
Dalam kondisi lelah, dengan makanan buruk masuk ke dalam tenggorokan, aku marah. Kubanting piring di meja, memuntahkan semua dari mulutku dan menghampiri ibu Yeni. Aku berkata tegas di hadapannya “AKU BERSUMPAH… KETURUNAN LELAKIKU TIDAK AKAN DAN TIDAK BOLEH BERISTRI LEBIH DARI SATU”. Kutinggalkan ibu Yeni dan adik-adikku di rumah. Aku keluar mencari makan. Dan tak pernah menginjakkan kaki di rumah itu lagi.
* * *
Kisah ini sengaja ku ulang di hadapan kalian, anak dan cucuku.
_____________________________
, Kisah Abah
, Kisah Abah
NB : Untuk membaca karya teman lain silahkan ke sini
0 komentar :
Post a Comment