Segera Berlalukah?!?



Namanya Ramji. Matanya sipit serupa mata memicing melihat matahari. Rambutnya pendek rancung berdiri. Kalau dilihat tegas, di matanya ada semangat laksana api. Tajam penuh semangat. Sejuk dan hangat. Wajahnya bulat. Kulitnya kuning gelap bak matahari sering menyengat.
Hari ini ia memakai kemeja putih bergaris tipis warna biru berlengan pendek. Celana bahan berwarna hitam semodel jeans. Sepatunya abu hitam lancip-lancip pada sol-nya. Sepatu semi offroad yang tidak senada dengan dandanannya. Sepuluh jarinya piawai menari-nari di ataskeyboard hitam. Serius. Sambil mendengarkan lantunan instrumental syahdu musisi korea.
'Belum jam dua siang', pikirnya. Sesekali Ramji melirik jam dinding di seberang ruangan. Ia kemudian bangkit menuju mesin printer. Diambilnya sepuluh lembar yang sengaja dicetaknya. Dibawanya menuju tukang photocopy. Dititipkannya dan bergegas makan.
Kepul-kepul asap tipis dji sam soe keluar tegas dari mulutnya. Ia sendirian di sana. Di bawah kantin beratapkan lempeng besi. Angin kencang kota pinggir pantai siang itu menyapu cepat asap dari mulutnya. Sirna. Bak pesulap menghilangkan wanita cantik berbikini.
Harusnya ada lima orang lain yang bersamanya. Tapi tidak kali ini. Ia harus menelan pil pahit dan menghadapi semuanya seorang diri. Bukankah akan lebih cepat selesai jika dilakukan bersama? Bukankah kebersamaan akan lebih terasa jika kita merasakan suka dan duka? Mungkin sekarang bukan saatnya. Bukan untuk Ramji kali ini. Ia harus menghadapinya sendiri. Seperti pemuda Spartan menghadapi ribuan tentara Persia.
Ia harus tegar menghadapi Raga Menghantam Hasrat dan NyawaRedup terancam. Temannya si bodoh Malah Berlari Fana meninggalkannya. Dia yang harusnya membantu malah berbalik berada di seberang sekarang. Menatapnya tajam dengan penuh kebencian dan dendam. Semua orang percaya padanya. Meremehkannya. Menginjak dan menistakannya.
Ramji kuat. Ramji tegar. Ia tak lantas menangis di tengah gempuran lidah-lidah tajam beracun yang menusuk tanpa ampun. Ia masih punya harga diri yang harus dijaganya. Ia menjaga harga dirinya. Harga diri teman-teman yang meninggalkan dia. Harga diri keluarga yang selama ini selalu menjaga pundaknya ketika terdorong nyaris jatuh. Dan harga diri kakaknya yang selalu membangunkannya ketika ia jatuh terduduk di tanah lembab dan basah.
Api emosi jelas tersirat pada wajahnya. Emosi yang sama. Emosi yang enam bulan lalu masih menyala-nyala. Emosi yang hanya ia luapkan pada tulisan-tulisan di sebuah diary rahasianya. Ingin rasanya segera tuntas. Ingin lepas. Dari perasaan tertindas. Dari perasaan terkhianati sekelompok penjahat yang berakhir di kamar sebuah lapas.
Perlahan marah emosi itu lenyap. Senyap bersama matanya yang terlelap. Walau besok akan kembali. Bersama kesibukan diri. Bersama semangat menatap garis tuju. 'ah.. ini hanya sebatas perjalanan hidup' Gumamnya. 'hanya sekadar perjalanan pada lorong gelap sebelum menemukan pintu bercahaya terang di ujung sana', Lanjutnya.
'Toh semua akan baik-baik saja. Semua akan segera sirna. Semua akan melupakannya. Setidaknya mereka akan mencemooh dan menghina lantas melupakan keberadaanku yang mungkin menurut mereka tidak berguna. Kalaupun aku berhasil, mungkin hanya selembar dua lembar pujian yang kemudian sirna bersama lapar dan dahaga. Lantas aku akan mencari lagi lembar-lembar pujian baru untuk lapar dan dahagaku', Ramji meracau dalam hati.
Ia kemudian menuju sebuah keran. Diputarnya. Ia berwudlu. 'Sudah lama aku tidak menghadap tuhan, malu rasanya. Hanya lapor ketika sedang menyentuh garis kemiskinan. Hanya lapor ketika sedang merasa terinjak', matanya berkaca-kaca memikirkan kalimat-kalimat tersebut. Ia tidak menangis. Hanya berkaca-kaca. Ada tekanan besar pada dadanya sekarang. Tekanan untuk meredam emosi menjadi lebih tenang. Tenang seperti api panas yang baru disiram air.
Setelah membuat sepuluh jadi menari-nari. Ia bergegas merapihkan barang-barangnya. Menyalakan sebatang rokok dan bergegas pulang. Pulang untuk kembali pada rutinitas yang ia suka namun mengecewakannya. Mengecewakan orang-orang terkasih di sekitarnya. Karena itu ia ditinggalkan. Sendirian memanggul beban kawan-kawannya.
______________________
, halah meracau tak jelas lagi
Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment