Mati Meninggalkan Kaki Kokoh



Kong Haji Zais. begitu orang-orang menyebutnya. Sosok bersahaja yang dihormati banyak orang itu memberiku pintu kehidupan. Dari tangannya yang hijau aku tumbuh terawat. Capricorn tak diperkenankannya mendekatiku. Wajah bersahajanya hangat mengusir. Melindungiku.
Sepeninggalan Kong Haji Zais, aku dirawat oleh keturunannya. Bang Jurkem namanya. Dari dulu aku sudah mengenalnya. Aku sering melihatnya tertawa riang. Bermain-main bersamaku. Aku juga pernah melihatnya menangis tersedu-sedu. Bahkan aku pernah melihatnya bahagia lantaran cintanya diterima oleh Jenab si gadis manis sholehah kampung sebelah. Aku jadi saksi bisu tanda cinta mereka yang terukir jelas di tubuhku.
Waktu tak pernah berdetak mundur. Zaman berubah menjadi kelam. Bergerombol manusia berbaris rapih membawa senjata laras panjang berseragam coklat tua dengan badge merah putih biru membumihanguskan kampung. Yang melawan dibunuh dengan keji. Gadis-gadis banyak yang dirampas mahkota kewibawaannya. Dan aku tetap menjadi saksi bisu ketika jasad-jasad tak lengkap digantung di tanganku.
Kampung berubah. Rumah-rumah anyaman bambu berubah menjadi batu-batu persegi panjang yang disusun berlapis warna krem angkuh. Rambutnya yang dulu hitam semrawut, kini berubah menjadi topi prisma segi empat yang kokoh dan gagah. Goedemorgen, Goedemiddagdan Goedenavond sangat akrab di telingaku sekarang. Anak-anak yang menemaniku kini putih. Dengan pakaian putih dan sepatu hitam pekat mengkilat. Mereka tetap riang diantara garangnya wajah bertangan laras panjang.
Kelam kembali menyelimuti. Darah-darah si putih dipaksa keluar dari raga melalui bambu. Banyak dari mereka yang hidup berakhir cacat. Tubuhnya tak sempurna. Mereka yang membantai kali ini teriak penuh semangat. Sesekali nama tuhan disebut sambil mengacungkan tangan yang mengepal menggenggam ikat kepala berwarna merah putih. Wajah-wajah kurus yang penuh murka dan dendam. Yang tak lupa masa lalunya yang kelam. Berharap esok cerah selepas malam.
* * *
14.600 matahari terlewat sudah. Kini persis di sebelah kiriku adalah tanah hitam mengkilat dari batu-batu hitam cair. Tapi orang-orang kampung sini tetap mengendarai kerbau. Kerbau dengan kaki bulat hitam yang kencang. Atau mereka naik kuda kecil yang berkaki dua yang juga bulat hitam. Sungguh kerbau dan kuda yang sangat cepat.
Namun sekarang, aku tak pernah lagi menemukan tawa riang anak-anak bermain di dekatku. Mereka tidak lagi memelukku. Bahkan orang-orang kampung ini sadis. Sering kali kakiku ditancapkan besi tajam, lengkap dengan simbol-simbol yang tak kumengerti. Tanganku pun tak luput dari kekejaman mereka. Tanganku seringkali terborgol tali warna-warni yang juga diikatkan pada temanku di seberang sana. Kami bernasib sama. Tak berdaya. Melihat pongah mereka yang menyiksa.
Aku rindu Kong Haji Zais. Aku rindu tawa anak-anak riang di sekitarku. Aku rindu aura kebahagiaan mereka. Aku rindu kisah cinta kasih semodel Bang Jurkem yang polos dan jujur itu.
* * *
Suatu pagi, aku kedatangan dua tamu. Sepasang burung gereja yang memadu kasih di tanganku. Mereka mesra berbagi makanan di paruhnya. Kicaunya yang sering membawa berita. Soal betapa banyaknya aku-aku yang lain di utara sana. Tempat yang sejuk katanya. Banyak teman. Banyak kawan. Bisa melihat senyum ceria anak-anak yang bermain. Aura cinta kasih terasa kental di sana. Mengingatkanku pada Kong Haji Zais dan Bang Jurkem.
Tidak seperti di sini kata mereka. Di sini aku sering melihat manusia memangsa manusia. Pak Juju pemikul kotak berisi benda-benda plastik berbagai macam bentuk warna-warni habis dipukuli dan digiring ke dalam kuda besi kaki bulat warna hijau. Rintihnya memohon-mohon seolah tak didengar. Wajah tua paniknya hanya menjadi kesenangan bagi mereka yang garang. Bahkan manusia-manusia itu juga pernah dengan ganas memotong sadis tangan kiriku hanya karena jempolku yang besar ini menimpa kuda besi berkaki bulat milik kawannya.
Memang tidak melulu soal kesadisan para manusia saja. Ada juga kisah kasih dua manusia putih abu-abu berjalan berpegangan tangan melewati sebelah kananku. Senyum merona keduanya terlukis jelas di wajah mereka. Sedih, senang, tangis, tawa sudah kulihat semua. Walau hanya diam bisu tanpa kata terucap. Kurekam semuanya dengan seksama. Segala kejahatan, segala cinta kasih manusia.
Kini sepasang burung gereja tersebut telah pergi. Bersamaan dengan datangnya manusia-manusia berkepala oranye dengan pisau berputar yang ditempelkan pada badanku. Mengoyakku hingga bersisa kaki yang menancap tanah. Demi melapis tanah berwarna hitam kelam. Terimakasih Tuhan telah memberiku hidup. Semoga kelak anak cucuku dapat menikmati hidup lebih dariku. Bersama dengan kakiku yang tertinggal.
>--0O0--<
Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment