Mamah Sang Pengajar Logika Pertama

Ilustrasi catur - liputan6.com
Saya tidak memanggil beliau dengan sebutan Ibu, melainkan Mamah. Dan buat saya, mamah adalah pintu pertama dalam membangun pola pikir. Dipikir ada untungnya juga saya tumbuh dan besar di era 90an dimana kehidupan internet belum sehingar-bingar sekarang ini. Jadi, karena Mamah adalah seorang Ibu Rumah Tangga Profesional, maka hari-harinya banyak dihabiskan di rumah.

Memang saat itu Mamah juga seorang pedagang yang bisa dibilang handal. Pasalnya saat belum ada online shop, mamah sudah berjualan jarak jauh. Bayangkan saja, hanya via telepon bisa mencapai transaksi belasan juta saat itu. Beruntung semua berjalan lancer, tidak ada yang menipu. Sehingga mamah bisa dapat aktifitas dan uang tambahan.

Mamah buat saya adalah pengajar logika pertama saya. Waktu SD, hari-hari pulang sekolah saya dihabiskan dengan bermain board game atau kartu. Mungkin agak aneh ya ketika emak-emak yang sudah punya anak terbesar SMA bisa mahir bermain kartu. Yang mungkin tambah aneh, kemahirannya dipertunjukkan di depan anaknya yang masih SD (saya) sekaligus mengajari aturan mainnya.

Dari mulai permainan klasik cangkulan hingga 41 kami praktikan bersama selepas saya pulang sekolah. Apa manfaat bermain kartu? Mungkin banyak orang menganggap permainan ini hanya buang-buang waktu menjurus ke arah perjudian.

BIG NO!

Bermain kartu mengajarkan saya yang waktu itu SD tentang mengenal angka, mengenal pola, dan prediksi. Yang mana pola, angka dan prediksi menjadi dasar pengetahuan untuk programmer, profesi yang sekarang saya jalani.


Damar (kiri), Mamah (kanan)
Tunggu dulu! Bukan hanya bermain kartu, Mamah juga mengajari saya bermain catur. Ya selain karambol dan Ludo, board game yang paling sering kami mainkan dulu adalah catur. Saya yang bungsu ini punya target sederhana, saya pingin mengalahkan abang saya yang jelas lebih jago.

Jadi kami sekeluarga itu ada 4 orang yang bisa bermain catur, selain Mamah dan saya, masih ada Abang dan Papap (panggilan saya untuk ayah). Hirarkinya saya jelas yang paling bawah. Yang ke tiga diisi Mamah. Abang saya yang waktu itu SMA menempati urutan ke dua. Dan yang paling puncak adalah Papap.

Jadi, hari-hari di keluarga kami itu sederhana sekali. Sepulang sekolah saya bermain catur bersama mamah. Ya mungkin sampai sore atau sampai bosan. Selanjutnya kalau Abang saya datang, saya langsung menantangnya. Dan malam ketika Papap pulang, gentian, giliran Abang menantang Papap. Ya begitu terus sampai akhirnya saya berhasil menang melawan Abang dengan kondisi Abang tidak memakai 2 benteng.

Pelan-pelan saya naik level dan terus naik level. Puncaknya, saya berhasil mengalahkan Abang saya dengan kondisi pion catur komplit. Ya walaupun persentasenya sangat kecil sekali. Itu pencapaian saya setelah mengalahkan Abang. Tapi untuk mengalahkan Papap, nanti dulu! Sepertinya hingga sekarang belum kesampaian mengalahkannya. Sementara pencapaian Abang saya, ya jelas, dia berhasil mengalahkan Papap yang tentunya persentasenya sama kecilnya dengan saya mengalahkan Abang.

Terus terang saya baru merasakan manfaat banyak bermain board game selepas pulang sekolah SD itu saat saya kuliah. Saya kuliah di IT yang menuntut kemampuan logika yang matang sebagai dasarnya. Bermain catur dan kartu dengan Mamah waktu kecil itu tanpa sadar membentuk kemampuan logika saya secara alami. Sekarang saya bisa dibilang OK soal Aljabar linear. Dan Aljebra yang menjadi dasar pemrograman database.

Begitu.



Tulisan ini diikutkan dalam Blog Competition Saliha.id - Karena Ibu.



Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment