Belajar Komunikasi dari Bupati Purwakarta


Foto di atas adalah foto seorang Bupati Purwakarta bernama Dedi Mulyadi. Merupakan salah satu orang sunda yang bersuara ketika Muhammad Rizieq Shihab dalam sebuah ceramah menyelewengkan kata 'sampurasun' menjadi 'campur racun'. Tidak lama setelahnya, tepatnya tanggal 25 November 2015 kemarin muncul video dengan durasi kurang dari 2 menit menampilkan Dedi Mulyadi dan seorang anak di atas panggung.

Dalam video tersebut Dedi dan si anak tadi saling melontarkan kata-kata kasar. Bahkan beberapa kali gerak Dedi seperti menendang dan menoyor kepala anak kecil itu. Berikut videonya :


Beruntung pada bagian komentar terdapat video lengkap percakapan Dedi Mulyadi dan si anak yang bernama Ujang ini. Dalam video lengkap yang diunggah di Facebook Dedi dan Ujang benar berkata-kata kasar. Bagi "anak gaul" tatar Sunda, bahasa "Anjing", "Goblog", "Sia" dan sejenisnya adalah lazim diucapkan sebagai bukti keakraban.

Hal yang berbeda dapat dengan mudah ditangkap ketika menonton secara penuh video lengkap yang diunggah di Facebook. Dari sana kita dapat melihat Dedi Mulyadi adalah sosok pengayom. Gaya komunikasi Dedi yang kasar terhadap Ujang hanya muncul pada awal dialog saja. Selebihnya, Dedi banyak memberi nasihat.

Verbal kasar yang dikeluarkan oleh Dedi ini bisa dibilang sebagai menyamakan frekuensi. Setiap individu punya frekuensi yang berbeda-beda. Ada yang lebih nyaman dengan keterbukaan atau sebaliknya. Dari sini bisa dilihat kalau Dedi berusaha masuk ke dalam frekuensi Ujang. Ketika frekuensi ini sudah sama, maka ketika itu pula Ujang akan merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan Dedi.

Konsepnya sama ketika kita berbicara dengan anak kecil. Dianjurkan agar kita berada pada posisi jongkok atau duduk. Usahakan agar kita setara dengan si anak. Kalau si anak sudah nyaman, maka komunikasi akan lebih mudah terjalin. Hal itu lah yang terjadi pada Dedi dan Ujang. Ujang terlihat semakin nyaman dan mulai terbuka.

Bahasa kasar dari Ujang terungkap latar belakangnya. Ujang yang diketahui duduk di kelas 7 sebuah Pesantren di Purwakarta adalah anak yang ditinggalkan Ibunya. Ayahnya bekerja sebagai juru parkir dan menumpang tinggal di rumah ibunya (nenek Ujang). Ujang yang juga bekerja disela-sela sekolahnya itu terlihat malu-malu mengakui ayahnya sebagai juru parkir dan neneknya sebagai pedagang keliling.

Selanjutnya Dedi memberikan nasihat-nasihat pada Ujang. Bahwa Ujang harus lebih bertanggungjawab pada Ayah dan Neneknya. Harusnya dia malu ketika dia banyak gaya sementara Ayah dan Neneknya banting tulang demi hidup. Jangan pernah malu punya Ayah yang hanya juru parkir. Atau malu karena si Nenek hanya pedagang di sekolah. Justru harusnya berbangga diri karena Ayah dan Nenek mencari uang dengan cara yang halal.

Nasihat-nasihat Dedi ini membuat Ujang menangis. Tangis Ujang semakin menjadi ketika Dedi memberikan sejumlah uang untuk modal si Nenek berjualan. Ujang kemudian memeluk Dedi dan terus menangis. Suasana semakin pecah ketika diiringi alunan do'a dari semua yang hadir.
___________

NB: Klik gambar di bawah untuk melihat video lengkapnya.


Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment