Cerita Lahiran anak kedua

Lobi RSIA Bunda Aliyah - rsia-bunda-aliyah-depok.business.site
Lahiran anak kedua ini memang sudah incar RSIA Bunda Aliyah untuk persalinannya. Selain tempat yang dekat, penampakan rumah sakit yang oke, dan harga yang juga oke menjadi pertimbangan saya dan bini. Dan hari itu, 1 April 2019, saat siap-siap berangkat kantor dan melihat bini lebih dari 2 kali mengeluh mulas, langsung request cuti untuk persiapan melahirkan.

Enggak banyak ba-bi-bu lagi sih, langsung tanya barang apa yang kudu disiapin, tuntun ke bawah, berangkat ke rumah sakit. Itu sih yang ada di pikiran.

Tapi ternyata segala keperluan sudah disiapkan bini dalam satu jinjing tas, paling hanya 1-2 barang saja yang tertinggal. Saat beberes, Bude datang. Beruntung Damar belum bangun, jadi kami bisa leluasa berangkat bertiga ke rumah sakit dan titip Damar sama Inyik.

Nyetir sambil mendengar bini meronta, meringis dan sesekali teriak di bangku belakang itu lumayan bikin adrenalin naik. Apalagi RSIA Bunda Aliyah dari rumah itu melawan arus, logikanya sih lancar. Tapi kenyatannya pemotor-pemotor tak berotak itu selap-selip ke kanan hingga kami kesulitan untuk melintas. Jalur kami habis setengah ditutup motor. Cuma bisa buka kaca sambil minta jalan, saat ada yang mukanya nyolot waktu papasan, cuma bisa bilang,

Pake jalur yang bener bos, bini gue mau ngelahirin nih. Tentunya kalimat ini keluar dengan telunjuk nunjuk-nunjuk kepala. Biar mikir. Mungkin kalau ada yang lebih nyolot lagi, bisa baku hantam di jalan. Maklum lah kondisi begini cukup bikin berserk mode yang pokoknya senggol, bacok!

Sampai di rumah sakit, kami langsung menuju IGD. Tinggalkan istri di sana, saya menuju meja pendaftaran. Setelahnya baru kami naik kamar bersalin.

Di kamar bersalin ini kami menunggu bukaan hingga dokternya datang. Sambil menunggu, tentu saja tekanan di perut datang bergantian. Sambil menunggu bukaan, bidan menyiapkan segala yang diperlukan. Saat bukaan pas, dokter Elsa pun datang.  Wah ini udah kayak Batman aja, datang di saat yang tepat.

Saya tidak begitu ingat berapa lama waktu yang istri saya butuhkan untuk mengeluarkan anak kami. Tapi yang jelas, pesan bu dokter, kalau ngeden jangan merem! Mata harus terbuka, khawatir buta atau pingsan. Baru tahu saya, saya pikir ngeden untuk mengeluarkan bayi itu boleh merem. Coba deh bayanagkan, saat merem itu kita seolah mengeluarkan semua kemampuan kita. Tapi ternyata salah, dengan tidak menutup mata saat ngeden, justru baik untuk kontrol diri.

Istri sudah tampak kelelahan, sementara bayi belum keluar. Dokter Elsa kemudian minta diambilkan vakum dan meminta istri untuk menyimpan tenaga. Baru lah pada saat vakum siap, Dokter Elsa meminta istri mengeluarkan tenaganya. Kepala bayi keluar, langsung vakum. Dan lahirlah anak kami dengan kepala lebih panjang sedikit karena divakum.  Ah tenang saja, badan bayi ini masih lembek, masih bisa dibentuk.



1 april 2019 merupakan hari yang biasa. jam 2.30 badan kembali terjaga. meminta sedikit asupan tenaga makan apa yang ada, bubur kampiyun di depan mata pukul 3.00 gelombang cinta mulai datang interval 10 sampai 15 menit sekali. diri masih percaya bahwa hari ini waktunya masih masuk kerja. karna hpl masih lama 1 - 5 mei mustinya pukul 4.48 waktunya salat subuh tlah tiba. ikhtiar salat tetap dikerjakan dengan posisi badan bergetar selama beberapa waktu. gelombang cinta itu datang silih berganti. pukul 5 lewat masih rencana dateng ke dokter menuhi jadwal checkup, jam 8 mustinya. jadi lah di tunda2 brangkat ke rs nya. gelombang cinta tak mau lagi menunggu dia datang 5 menit skali. akhirnya ke rumah sakit jam 6.50. sudah tergolong siang untuk jam jalan di hari kerja. sikomo (macet) pun tlah tiba, di spanjang perjalan yang di lalui. meringis, triak, nyebut allah semua di kerjakan. misu di depan membawa mobil sambil kewalahan. alhamdulillah bude yang bekerja di rumah menemani, menenangkan dengan elus2 punggung yang bergetar ini. pukul 8an tiba di rs. langsung masuk igd
A post shared by Putri Gerry (@rhenn11) on

Yes bayi kami sudah lahir, yang paling penting kemudian adalah memberikan nama. Karena kami masih bingung nama yang akan kami sematkan pada si bayi. Lumayan kan sambil menunggu proses pindah ke kamar perawatan kami gunakan untuk diskusi soal nama. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, googling ke sana ke mari, kami masih belum menemukan nama yang pas.

Bahkan sampai kamar perawatan pun kami belum menemukan nama yang pas untuk si bayi, tidak percaya? Nih lihat sendiri papan pada tempat tidur bayi ini:


Akhirnya saat Oma datang, kami bisa leluasa menemukan nama yang pas. Masa' sih 3 orang sudah urun rembuk masih blank juga? Nama yang kami sematkan untuk bayi ini adalah Qanita Aqila Idris. Nama yang agak ribet mungkin, karena kerongkongan harus menyatu dua kali untuk menyebut namanya. Dan sengaja ada 3 kata, biar gak usah ribet lagi nyari 1 kata saat bikin passport nanti seperti ayah dan ibunya. Btw, berikut arti katanya:

Qanita: Wanita yang senang beribadah. Jelas sekali harapannya, orangtuanya ingin anaknya rajin beribadah. Atau segala tindak-tanduk yang dilakukan anak ini kelak akan menjadi ibadah. Sederhananya, dengan rajin ibadah, artinya dia selalu ingat Tuhan. Dan masa' Tuhan jelas tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang senang beribadah. Pertolongan dan perlindungan Tuhan akan selalu menyertai jalannya.

Aqila: Beberapa mengartikan kecerdasan, beberapa lain mengartikan kebijaksanaan. Cerdas dan bijaksana mungkin tidak lazim disematkan pada perempuan (ini buat orang-orang Quraisy sih). Tapi buat saya justru penting juga. Toh perempuan ini Insya Allah akan menjadi ibu. Dan ibu kudu cerdas dan bijak dalam mendidik anak.

Idris: Ini nama belakang bapaknya yang ganteng, simple.

Sudah lah ya, tidak perlu diceritakan cerita di kamar perawatan yang suaminya tidur di lantai hanya beralaskan kain (persiapan kurang matang), langsung saja ke pembayaran dan pulang. Biar cepat selesai.

Untuk biaya, kami tidak menggunakan BPJS di rumah sakit ini. Selain karena kami memang dari awal tidak mengikuti prosedur BPJS untuk kelahiran kedua ini, kami juga merasa takjub karena setelah anak pertama yang sesar, anak kedua ini bisa lahiran normal (dibantu vakum) dengan jarak kelahiran anak pertama dan kedua ini 3 tahun 3 bulan.

Baca: Persalinan dengan BPJS Kesehatan

Terakhir, sebelum menutup, berapa biaya persalinan  normal di rumah sakit ini dengan kelas kama 1 (kalau tidak salah)? Kami membayar sekitar 9 jutaan. Jangan bandingkan dengan klinik bersalin, karena angkanya mungkin terlihat lebih mahal. Jangan juga bandingkan dengan rumah sakit besar karena angkanya mungkin terlihat kecil sekali. Tapi yang jelas, untuk rumah sakit baru yang lokasinya strategis dekat stasiun ini, angka segitu oke.

Udah ah gitu aja.
Share on Google Plus

0 komentar :

Post a Comment