Ide meluncurkan APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus Transjakarta) bisa dibilang keren. Dengan adanya format transportasi APTB ini, masyarakat kota-kota satelit Jakarta dengan mudah mengakses jantung kota Jakarta. Terlebih lagi sesuai dengan namanya, bus ini bisa leluasa menaikan dan menurunkan penumpang di halte Bus Transjakarta. Dengan jalur busway yang steril, maka waktu tempuh bus ini menjadi jauh lebih cepat.
Bayangkan saja, waktu tempuh Cikarang - Kalideres diklaim hanya cukup 90 menit saja. Proses pembayarannya pun makin canggih, sekarang bisa menggunakan e-ticket Flazz BCA. Setiap kondekturnya dibekali dengan alat pembayaran layaknya merchant-merchant yang terintegrasi dengan BCA. Tinggal gesek, struk keluar, maka transaksi selesai.
Saya pun berkesempatan menjajal moda transportasi ini dua kali. Kesan pertama menggunakannya, moda transportasi ini sangatlah menyenangkan. Naik, duduk, bayar, lanjut tidur hingga tempat tujuan (terminal Cikarang). Namun lain hal pada kesempatan kedua.
Pada kali kedua, saya mengalami hal yang tidak menyenangkan. Hari saya naik adalah hari jumat tanggal 6 Februari 2015. Saya naik dari halte busway Slipi Petamburan sekitar pukul 20.00 WIB. Mengingat kondisi jalan Jakarta yang malam itu baru diguyur hujan sejak sore hari, maka seperti biasa, jalanan macet luar biasa. Macetnya jalanan Jakarta sangat terasa karena banyak mobil-mobil yang mencuri jalan dengan masuk jalur busway.
Mungkin untuk mempercepat waktu tempuh, sang supir rajin pindah jalur. Bayangkan! Pindah jalur dari jalur busway menuju jalur biasa. Tau sendiri kan kalau antara jalur busway terdapat pembatas yang lumayan tinggi. Dan pembatas tersebut dilewati beberapa kali demi menembus kemacetan. Dan saya tidak bisa tidur karenanya.
Perkiraan jarak turun menuju Pool Bus (caption google map)
Perkiraaan jarak cibitung menuju terminal (caption google map)
Ah, ternyata Mayasari Bhakti 117 lebih gentle ketimbang APTB 14. Selain karena pemberitahuan di awal perjalanan, supir dan kondektur juga memotong tarif perjalanan, tidak seperti APTB yang seolah menjadi harga mati untuk ongkos perjalanan. Semoga catatan perjalanan saya ini bisa dijadikan rujukan bagi pengelola APTB untuk membuat kebijakan yang yahud, sehingga tidak perlu menelantarkan penumpang di tengah perjalanan. Sehingga harga mati Rp 20.000 untuk APTB 14 terasa jujur.
0 komentar :
Post a Comment